Kemanakah uang hasil produksi minyak dan gas bumi Indonesia? Pertanyaan tersebut pantas kita ajukan menyusul
merebaknya berbagai kasus korupsi dan suap yang melanda negeri ini. Kasus yang
teranyar adalah skandal suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini (sebagai tersangka) dan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno (tersangka),
yang juga kini menyeret beberapa anggota DPR (masih sebagai saksi), eksekutif trader
migas Kernel Oil (sebagai tersangka) dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan (masih sebagai saksi), menjadi
bukti betapa kronisnya praktik-praktik gratifikasi dan korupsi di industri
migas di Indonesia saat ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) hingga hari ini terus mengembangkan kasus gratifikasi tersebut. Sejauh ini KPK telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka
termasuk Rudi Rubiandini dan Waryono Karno. KPK telah menyusun Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) Rudi Rubiandini dan siap dibuka di pengadilan. Di dalam BAP tersebut,
yang datanya bocor ke media, beberapa pihak lain juga diduga turut berperan antara
lain beberapa anggota DPR Komisi VII– Soetan Bhatugana dan Tri Yulianto.
Keduanya diduga menerima uang bonus hari raya (THR) dari SKK Migas. Keduanya membantah
menerima uang bonus THR.
Dirut Pertamina Karen Agustiawan
telah dua kali dipanggil KPK sebagai saksi. Dalam BAP Rudi
Rubiandini, Karen disebut-sebut diminta oleh Rudi Rubiandini untuk menyetor
dana ke anggota DPR. Rudi sendiri mengatakan bahwa dia diminta Waryono untuk
menghubungi Dirut Pertamina agar menyetor dana ke anggota DPR Komisi VII. Beberapa hari
lalu, Karen Agustiawan membantah telah memberi uang bonus hari raya ke DPR.
Mana yang benar, Pengadilan akan membuktikan. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Yang salah dihukum.
Mana yang benar, Pengadilan akan membuktikan. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Yang salah dihukum.
Mobil-mobil milik Wawan disita KPK (foto: Kompas.com) |
Kembali ke pertanyaan awal: Kemanakah
uang produksi migas selama berpuluh tahun? Berdasarkan skema yang berlaku saat
ini, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi masuk ke APBN (State
Budget) yang mencapai sekitar 30 persen dari total penerimaan APBN.
Dana migas tersebut kemudian dialokasikan, baik untuk belanja rutin membayar gaji pegawai negeri maupun untuk membiayai program pembangunan, seperti jembatan, rumah sakit, jalan, dan lain. Sebagain dana migas dikembalikan ke daerah.
Dana migas tersebut kemudian dialokasikan, baik untuk belanja rutin membayar gaji pegawai negeri maupun untuk membiayai program pembangunan, seperti jembatan, rumah sakit, jalan, dan lain. Sebagain dana migas dikembalikan ke daerah.
Saat ini, split atau bagi hasil minyak
antara pemerintah dan perusahaan migas (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/KKKS)
cukup menguntungkan pemerintah, yakni 85% untuk pemerintah dan 15% untuk
perusahaan migas/KKS setelah dikurangi biaya-biaya. Sementara, untuk bagi hasil
untuk gas bumi, pemerintah mendapatkan 70% dan KKKS 30%.
Anggota DPR, Soetan Bhatugana |
Pertanyaannya, apakah semua dana
migas yang masuk ke kas negara atau APBN digunakan seluruhnya untuk
menyejahterakan rakyat? Jawabnya TIDAK. Sebagian dana tersebut bocor alias
dikorupsi, ditilep dengan berbagai cara, masuk ke kantong-kantong pribadi para
penguasa republik ini, baik mereka yang duduk di lembaga eksekutif maupun
legislatif. Lihatlah berbagai kasus korupsi saat ini yang merebak dimana-mana, seperti kasus Ratu Atut, gubernur Banten Ratu Atut dan Wawan, suami Walikota Tangerang Selatan. Aset-asetnya temasuk mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah telah disita KPK.
Korupsi dan gratifikasi tidak
hanya terjadi di pusat, tapi juga di daerah. Ini terlihat dengan banyaknya
Bupati dan Gubernur dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang
terlibat kasus korupsi dan gratifikasi. Uang negara tidak hanya menguap akibat
korupsi dan gratifikasi, tapi juga oleh alokasi yang tidak tepat, misalnya anggaran
untuk perjalanan dinas pejabat-pejabat pemerintah pusat dan daerah serta DPR.
Kita saksikan triliunan rupiah digunakan untuk perjalanan dinas. Anggota DPR di
sela-sela masa persidangan, berfoya-foya menggunakan uang rakyat bepergian ke
luar negeri, dengan alasan studi banding. Tidak salah bila negeri ini sudah memasuki fase Darurat Korupsi.
Dirut Peramina: Face the press |
Bila dana hasil migas tersebut
semuanya digunakan seluruhnya untuk berbagai program pembangunan dan program
untuk menyejahterahkan rakyat, seharusnya tidak ada lagi warga negara kepulauan
ini yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kasus gratifikasi mantan ketua
SKK Migas Rudi Rubiandini merupakan contoh nyata, betapa uang rakyat menguap
begitu saja ke kantong-kantong pribadi pejabat publik dan anggota DPR, seperti
yang terjadi pada kasus mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini.
Kasus gratifikasi, korupsi dan
penyalahgunaan uang negara ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Masih banyak
kasus-kasus yang belum terungkap ke permukaan. Rakyat pantas marah karena dana
hasil eksploitasi migas dari bumi pertiwi hanya memperkaya pejabat-pejabat
publik di Republik ini. Padahal, jelas-jelas Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
menegaskan bahwa bumi, air dan isinya dikelola untuk memakmurkan seluruh rakyat
Indonesia, bukan pribadi-pribadi.
Setelah reformasi tahun 1997-1998
yang ditandai dengan tumbangnya rejim korup Orde Baru seharusnya pengelolaan
kekayaan negara dan sumber daya alam menjadi lebih baik dan lebih optimal sehingga
kesejahteraan rakyat meningkat. Rejim Orba di bawah Soeharto jatuh antara lain
karena KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), termasuk kasus-kasus korupsi di
tubuh Pertamina yang merajalela di masa Orba.
Kita berharap, kasus gratifikasi mantan kepala SKK Migas, pejabat
ESDM serta pihak-pihak lain yang mungkin terseret oleh kasus ini dapat menjadi
titik balik untuk menjadikan industri migas bersih dari segala praktik korupsi,
suap/gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang. (*)