Rabu, 29 Januari 2014

Kemanakah Uang Hasil Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia?



Kemanakah uang hasil produksi minyak dan gas bumi Indonesia?  Pertanyaan tersebut pantas kita ajukan menyusul merebaknya berbagai kasus korupsi dan suap yang melanda negeri ini. Kasus yang teranyar adalah skandal suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini (sebagai tersangka) dan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno (tersangka), yang juga kini menyeret beberapa anggota DPR (masih sebagai saksi), eksekutif trader migas Kernel Oil (sebagai tersangka) dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan (masih sebagai saksi), menjadi bukti betapa kronisnya praktik-praktik gratifikasi dan korupsi di industri migas di Indonesia saat ini.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga hari ini terus mengembangkan kasus gratifikasi tersebut. Sejauh ini KPK telah menetapkan beberapa orang sebagai tersangka termasuk Rudi Rubiandini dan Waryono Karno.  KPK telah menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudi Rubiandini dan siap dibuka di pengadilan. Di dalam BAP tersebut, yang datanya bocor ke media, beberapa pihak lain juga diduga turut berperan antara lain beberapa anggota DPR Komisi VII– Soetan Bhatugana dan Tri Yulianto. Keduanya diduga menerima uang bonus hari raya (THR) dari SKK Migas. Keduanya membantah menerima uang bonus THR.


Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah dua kali dipanggil KPK sebagai saksi. Dalam BAP Rudi Rubiandini, Karen disebut-sebut diminta oleh Rudi Rubiandini untuk menyetor dana ke anggota DPR. Rudi sendiri mengatakan bahwa dia diminta Waryono untuk menghubungi Dirut Pertamina agar menyetor dana ke anggota DPR Komisi VII. Beberapa hari lalu, Karen Agustiawan membantah telah memberi uang bonus hari raya ke DPR.

Mana yang benar, Pengadilan akan membuktikan. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Yang salah dihukum.


Mobil-mobil milik Wawan disita KPK (foto: Kompas.com)
Kembali ke pertanyaan awal: Kemanakah uang produksi migas selama berpuluh tahun? Berdasarkan skema yang berlaku saat ini, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi masuk ke APBN  (State Budget) yang mencapai sekitar 30 persen dari total penerimaan APBN. 

Dana migas tersebut kemudian dialokasikan, baik untuk belanja rutin membayar gaji pegawai negeri maupun untuk membiayai program pembangunan, seperti jembatan, rumah sakit, jalan, dan lain. Sebagain dana migas dikembalikan ke daerah. 


Saat ini, split atau bagi hasil minyak antara pemerintah dan perusahaan migas (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/KKKS) cukup menguntungkan pemerintah, yakni 85% untuk pemerintah dan 15% untuk perusahaan migas/KKS setelah dikurangi biaya-biaya. Sementara, untuk bagi hasil untuk gas bumi, pemerintah mendapatkan 70% dan KKKS 30%.


Anggota DPR, Soetan Bhatugana
Pertanyaannya, apakah semua dana migas yang masuk ke kas negara atau APBN digunakan seluruhnya untuk menyejahterakan rakyat? Jawabnya TIDAK. Sebagian dana tersebut bocor alias dikorupsi, ditilep dengan berbagai cara, masuk ke kantong-kantong pribadi para penguasa republik ini, baik mereka yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif. Lihatlah berbagai kasus korupsi saat ini yang merebak dimana-mana, seperti kasus Ratu Atut, gubernur Banten Ratu Atut dan Wawan, suami Walikota Tangerang Selatan. Aset-asetnya temasuk mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah telah disita KPK.


Korupsi dan gratifikasi tidak hanya terjadi di pusat, tapi juga di daerah. Ini terlihat dengan banyaknya Bupati dan Gubernur dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi. Uang negara tidak hanya menguap akibat korupsi dan gratifikasi, tapi juga oleh alokasi yang tidak tepat, misalnya anggaran untuk perjalanan dinas pejabat-pejabat pemerintah pusat dan daerah serta DPR. Kita saksikan triliunan rupiah digunakan untuk perjalanan dinas. Anggota DPR di sela-sela masa persidangan, berfoya-foya menggunakan uang rakyat bepergian ke luar negeri, dengan alasan studi banding. Tidak salah bila negeri ini sudah memasuki fase Darurat Korupsi.


Dirut Peramina: Face the press
Bila dana hasil migas tersebut semuanya digunakan seluruhnya untuk berbagai program pembangunan dan program untuk menyejahterahkan rakyat, seharusnya tidak ada lagi warga negara kepulauan ini yang hidup di bawah garis kemiskinan.  


Kasus gratifikasi mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini merupakan contoh nyata, betapa uang rakyat menguap begitu saja ke kantong-kantong pribadi pejabat publik dan anggota DPR, seperti yang terjadi pada kasus mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. 


Kasus gratifikasi, korupsi dan penyalahgunaan uang negara ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap ke permukaan. Rakyat pantas marah karena dana hasil eksploitasi migas dari bumi pertiwi hanya memperkaya pejabat-pejabat publik di Republik ini. Padahal, jelas-jelas Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 menegaskan bahwa bumi, air dan isinya dikelola untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia, bukan pribadi-pribadi. 


Setelah reformasi tahun 1997-1998 yang ditandai dengan tumbangnya rejim korup Orde Baru seharusnya pengelolaan kekayaan negara dan sumber daya alam menjadi lebih baik dan lebih optimal sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Rejim Orba di bawah Soeharto jatuh antara lain karena KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), termasuk kasus-kasus korupsi di tubuh Pertamina yang merajalela di masa Orba. 

Kita berharap, kasus  gratifikasi mantan kepala SKK Migas, pejabat ESDM serta pihak-pihak lain yang mungkin terseret oleh kasus ini dapat menjadi titik balik untuk menjadikan industri migas bersih dari segala praktik korupsi, suap/gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang. (*)

Minggu, 19 Januari 2014

Menteri BUMN Dahlan Iskan Harusnya Mundur dan Tidak Membuat Keputusan Strategis


Dahlan Iskan
Siapa yang tidak kenal Menteri yang satu ini, Dahlan Iskan? Ia adalah salah satu menteri kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang cukup banyak mendapat porsi pemberitaan dari media masa dibanding menteri-menteri lain. Dahlan Iskan adalah Menteri yang menangani Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang memiliki aset ribuan triliun rupiah. Sebagai Menteri BUMN, Dahlan Iskan memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan ratusan BUMN. Sebagai sosok pribadi, Dahlan juga tergolong sosok yang kontroversial. Sikap dan tindakan-tindakannya terkadang membuat orang terkejut, misalnya saat ia membuka salah satu pintu tol dalam kota beberapa waktu lalu.
Dahlan Iskan kian menjadi sorotan apalagi saat ini pemilik Jawa Pos group ini menjadi salah satu kader Partai Demokrat yang bertarung memperebutkan posisi sebagai calon Presiden dari partai berwarna biru langit itu. Belakangan sorotan publik terhadap Dahlan Iskan masih terus berlansung apalagi sang Menteri BUMN ini terkadang melontarkan ide-ide dan kebijakan yang memancing perdebatan yang kontroversial di masyarakat. 

Salah satunya adalah rencana Dahlan untuk mendorong Pertagas, anak perusahaan PT Pertamina, untuk mengakuisisi PT Perusahaan Gas Nasional (PGN), perusahaan infrastruktur yang mengelola jaringan pipa transmisi dan distribusi gas nasional. Kabarnya, rencana tersebut telah disetujui dalam rapat Pemegang Saham Pertamina, yang hasilnya sempat bocor di tangan media. 

Menariknya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa belum mengetahui rencana tersebut. Hatta mengatakan rencana Pertagas untuk mengakuisisi PGN belum pernah dibahas di tingkat Rapat Koordinasi Menteri. Apakah itu mengindikasikan bahwa Dahlan Iskan belum berkonsultasi dengan Meenteri Hatta Rajasa terkait rencana akuisisi tersebut? Apakah itu berarti Dahlan Iskan telah melangkahi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa?

Yang jelas, Menteri Dahlan Iskan tidak bisa begitu saja merealisasikan rencana akuisisi tersebut. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui apalagi PGN adalah perusahaan yang well-established dan telah go public. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan dan perlu dipelajari secara mendalam. Misalnya, sejauh mana dampak akuisisi tersebut bagi investor publik dan konsumen atau publik? 

Rencana akuisisi tersebut memang terlihat aneh karena dari sisi aset dan pengalaman, Pertagas jauh lebih kecil dibanding PGN. PGN telah melakukan investasi besar dalam 10 tahun terakhir dan telah memaparkan rencana investasinya kedepan. Sejauh mana dampak akuisisi tersebut terhadap rencana investasi PGN ke depan? Tentu masih banyak pertanyaan lagi yang muncul di benak publik.

Dahlan Iskan adalah double agent. Ia tidak hanya seorang Menteri BUMN, tapi juga seorang calon Presiden yang sedang bertarung di internal partai. Posisi dia sebagai Menteri sekaligus sebagai calon Presiden yang sedang bertarung membuat publik curiga atas pernyataan-pernyataan dan keputusan Dahlan. Saat Dahlan melontarkan rencana akuisisi tersebut, publik langsung bereaksi: apakah rencana akuisisi tersebut murni pertimbangan korporasi yang akan membuat perusahaan menjadi lebih besar, lebih kokoh dan menguntungkan publik dan investor? Ataukah justru dilatarbelakangi oleh motif-motif politik tertentu dan perburuan rente? 

Semua orang tahu menjadi Presiden di Republik ini membutuhkan biaya tidak sedikit. Perlu uang dalam jumlah besar untuk berkampanye. Sebagai Menteri BUMN yang menangani ratusan BUMN dengan aset triliunan, tentu wajar bila masyarakat umum curiga dengan setiap keputusan, kebijakan dan pernyataan Dahlan Iskan.

Minggu lalu, Dahlan Iskan kembali melontarkan dukungannya agar Pertamina mengoperasikan Blok Mahakam, tanpai penjelasan lebih lanjut. Ia mengatakan dia telah berupaya meyakinkan Pertamina bahwa perusahaan migas negara tersebut dapat mengelola Blok Mahakam. Isu Blok Mahakam memang salah satu isu yang seksi, menarik untuk dijual jelang Pemilihan Umum. Isu nasionalisasi blok-blok migas rentan digunakan alat oleh pihak-pihak tertentu untuk menarik simpati publik, tanpa mempertimbangkan realitas yang ada dan dampaknya bagi kepentingan bangsa yang lebih besar. 

Sebagai seorang Menteri BUMN dan juga bakal calon Presiden, tentu tidak salah bila publik mempertanyakan maksud Dahlan, apakah itu murni kepentingan bangsa, atau hanya untuk kepentingan kemenangan politik pribadi? Seharusnya, sebagai seorang menteri, lebih bijak bila dia mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan opsi terbaik bagi pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Opsi terbaik berarti mempertimbangkan seluruh aspek teknis dan non-teknis, faktor risiko, faktor pemasukan bagi pendapatan negara, kelanjutan produksi Blok Mahakam. Artinya, keputusan yang akan diambil pemerintah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dengan melihat realitas yang ada dan kondisi Blok Mahakam itu sendiri.

Yang jelas, Blok Mahakam merupakan salah satu blok yang paling rumit di Indonesia bahkan di dunia. Karakter blok tersebut berbeda dengan blok-blok migas lainnya, katakanlah Blok Cepu. Kondisi bawa tanah dan reservoir yang ada di Mahakam (kecil dan tersebar) sangat berbeda dengan blok-blok migas lainnya. Ratusan sumur harus dibor setiap tahun untuk mempertahankan tingkat produksi. Pengembangan Blok Mahakam selanjutnya memiliki risiko yang lebih besar dibanding sebelumnya. 

Menteri Dahlan seharusnya menginformasikan kepada publik fakta-fakta dan kondisi yang sebenarnya terkait Blok Mahakam, tidak hanya ‘menjual’ isu Mahakam untuk kepentingan politik tertentu. 

Oleh karena itu, lebih bijak bila Dahlan Iskan mundur dari posisinya sebagai Menteri BUMN dan fokus pada ambisi politiknya menjadi calon Presiden dari Partai Demokrat. Hal ini penting karena saat ini, publik melihat sosok Dahlan Iskan tidak hanya sebagai Menteri BUMN tapi juga sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat. Mengundurkan diri merupakan opsi terbaik bagi Menteri Dahlan Iskan sehingga BUMN-BUMN dapat fokus menjalankan roda bisnis mereka dan tidak tertekan oleh ambisi politik Dahlan Iskan. (*)

Selasa, 14 Januari 2014

Menimbang Dampak Rencana Akuisisi PGN oleh Anak Usaha Pertamina


Bagi investor publik, nama PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN merupakan sebuah perusahaan yang sudah sangat dikenal. PGN dikenal sebagai perusahaan milik negara (BUMN) penyedia infrastruktur pipa gas terkemuka di tanah air, sama seperti perusahaan jalan tol PT Jasa Marga Tbk atau PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang bergerak di bidang penyedia jasa telekomunikasi. Bisnis utama PGN adalah membangun dan mengembangkan jaringan pipa transmisi dan disrtribusi gas mulai dari fasilitas produksi gas hingga ke pabrik-pabrik dan rumah tangga.

Saat mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, jualan utama PGN adalah keunggulan dan dominasi di jaringan pipa transmisi dan gas, termasuk pipa transmisi gas dari lapangan-lapangan migas di Sumatera ke Jawa Barat. Bahkan jaringan investasi pipa gas ini menjadi keunggulan tersendiri bagi PGN, sehingga menarik investor yang membeli sahamnya melalui pasar modal.  

Dalam beberapa tahun terakhir, PGN telah mempunyai pesaing baru, yakni Pertagas, anak perusahaan BUMN Migas PT Pertamina. Pertagas sudah memiliki jaringan pipa gas untuk jalur-jalur tertentu di Pulau Jawa dan Sumatera, menghubungkan fasilitas produksi atau lapangan migas dan end-user, termasuk PT PLN. Namun, dari sisi jaringan pipa gas yang dimiliki dan posisi di pasar, PGN masih menjadi pemain utama di sektor infrastruktur pipa gas. Tidak hanya yang terkait pasar, aset dan kinerja PGN jauh lebih baik dibanding Pertagas. Laporan keuangan PGN lebih transparan dan terbuka sehingga bisa diakses dan dimonitor oleh publik, sehingga setiap rencana dan aksi korporasi dibuka dan terbuka bagi investor maupun publik.

PGN merupakan sebuah perusahaan yang sudah well-established di industri infrastruktur gas. Perusahaan itu sudah menggelontorkan triliunan rupiah untuk membangun jaringan pipa gas dan berencana untuk terus berinvestasi membangun jaringan pipa gas. Persoalan yang dihadapi oleh PGN adalah ketergantungan pada lapangan migas sebagai sumber atau penyuplai gas bumi. Disatu sisi perusahaan migas yang memproduksi gas bumi bergantung pada jaringan pipa PGN untuk menyalurkan gas dari fasilitas produksi ke konsumen, yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. PGN mengutip fee tertentu dalam jangka panjang bagi gas yang didistribusikan oleh perusahaan gas bumi ke konsumen.

Ekonomi Indonesia saat ini sedang bertumbuh. Kebutuhan gas bumi pun kian meningkat. Untuk itu, jaringan pipa transmisi dan distribusi gas sangat dibutuhkan. Untuk itulah, dari sisi konsumen, kehadiran perusahaan seperti PGN maupun Pertagas sangat dibutuhkan untuk menopang rencana pemerintah membangun jaringan pipa gas transmisi maupun distribusi. PGN berada di posisi yang tepat sebagai market leader dengan aset dan pengalaman yang mumpuni. Dari sisi konsumen kehadiran perusahaan pipa gas dibutuhkan. Kehadiran Pertagas sebagai kompetitor bagus untuk konsumen karena akan ada kompetisi.

Dengan latar belakang kondisi industri jaringan pipa gas seperti itu, rencana Pertamina untuk mengakuisisi PGN melalui anak usahanya Pertagas cukup mengejutkan investor publik dan masyarakat umumnya. Dari berita dan penelusuran, tampaknya rencana Pertamina tersebut didukung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang terkadang membuat keputusan kontroversial dan menyita perhatian publik. Banyak elemen masyarakat yang mempertanyakan rencana akuisi PGN oleh Pertagas. Apa manfaatnya bagi kemajuan industri jaringan atau infrastruktur pipa gas di Indonesia? Apa dampaknya bagi investor publik bila rencana akuisisi tersebut jadi dilakukan.

Bagi investor publik, rencana akuisisi Pertagas atas PGN, ibarat katak menelan Gajah. Publik menanti penjelasan dari pemerintah mengenai dampak buruknya rencana tersebut. Konsumen pengguna gas juga mempertanyakan rencana tersebut karena dikhawatirkan justru akan menimbulkan monopoli baru Pertamina yang lebih dahsyat dari hulu hingga hilir. Sisi negatif dari sebuah monopoli adalah kekuasaan dalam menentukan harga gas. Dikhawatirkan monopoli jaringan pipa oleh PGN kelak justru akan merugikan konsumen.

Pemerintah memang harus memperhatikan kepentingan publik dari setiap keputusannya. Karena itu, Pertamina, Kementerian BUMN perlu melakukan studi yang mendalam sebelum akuisisi tersebut dilakukan. Beberapa kelompok masyarakat bahkan curiga rencana akuisisi tersebut hanya untuk memenuhi ambisi kepentingan-kepentingan pihak tertentu dengan mengorbankan kepentingan publik.  

Di tingkatkan korporat, tampaknya rencana Petamina mengakuisisi PGN melalui anak usaha Peragas sudah disetujui dalam Rapat Pemegang Saham Pertamina. Pihak Pemerintah diwakili oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Wakil Menteri Keuangan dalam rapat tersebut. Namun, rencana akuisisi tersebut belum final. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan rencana tersebut belum dibahas dalam rapat koordinasi tingkat menteri. Untuk sebuah rencana besar seperti itu, memang perlu dibahas dalam rapat koordinasi tingkat menteri.

"Anda juga harus tahu PGN itu sudah listing di bursa. Ini tentu akan memengaruhi pemegang saham. Mereka tentu bertanya ini akan seperti apa. Segala sesuatu harus dipikirkan cermat. Hati-hati sebelum mengambil keputusan, nggak gebyah-uyah," jelas Hatta. Publik mengharapkan rencana akuisisi tersebut dilakukan secara transparan dengan motif yang sejelas-jelasnya sehingga publik tidak dirugikan. Jangan sampai akuisisi itu dilakukan hanya demi memenuhi ambisi pihak-pihak tertentu dengan mengorbankan investor publik dan konsumen. (*)



Rabu, 08 Januari 2014

Industri Migas Indonesia dan Transfer Teknologi

Era mudah mendapatkan minyak dan gas bumi (migas) sudah lewat. Dulu sebagian besar lapangan minyak berada di daratan (onshore), tapi kini sebagian besar blok migas atau wilayah kerja (WK) Migas berada di lepas pantai. Dan, sebagian besar berada di laut dalam (deepwater). Sehingga tidak salah bila industri migas identik high technology dan high capital. Lihat saja pengembangan Blok Masela di Arafura, yang menelan biaya sekitar US$5,5 miliar untuk mengembangkan tahap pertama. Demikian juga pengembangan lanjutan train 3 BP Tangguh di Papua yang menelan puluhan hingga ratusan triliun dalam 5-10 tahun mendatang, proyek laut dalam (IDD) di Selat Makassar.
Selain biaya investasi yang mahal, peralatan pendukung pun bersifat high-tech dan menelan biaya bear. Sebagai contoh jenis kapal pengeboran (drillship) khusus untuk laut dalam. Belum ada perusahaan Indonesia yang memiliki kapal high-tech sejenis itu. Kapal drillship laut dalam didatangkan dari luar negeri. Tidak heran beberapa jenis kapal yang digunakan untuk proyek deepwater masih harus diimpor dari dalam negeri.
Pengolahan gas bumi (LNG) pun kini tidak lagi diproses di daratan (onshore) tapi juga langsung dioleh oleh kapal yang melayang di tengah laut (floating LNG/FLNG) atau Floating Production Storage Offloading (FPSO) atau sejenisnya. Minyak dan gas bumi diangkat dan langsung diproses di FLNG atau FPSO dan kemudian dieksplor melalui kapal ke pembeli. 

Khusus untuk proyek FLNG, Australia dan Indonesia kini sedang berlomba untuk memiliki FLNG pertama di dunia. Tapi rupanya FLNG pertama akan dimiliki Australia tahun 2017, sementara Indoneosia tampaknya gagal mencapai ambisinya memiliki FLNG pertama, yakni melalui proyek lapangan Abadi di Blok Masela. Pengembangan Blok Masela masih molor dan kemungkinan baru onstream tahun 2018 atau 2019. Itu pun masih menunggu keputusan atau sinyal pemerintah terkait permintaan Inpex, sebagai operator, untuk memperpanjang kontrak Blok Masela setelah 2028.
Seperti diakui oleh ketua Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz, Indonesia tertinggal 10 tahun terkait teknologi di industri migas. Karena itu, Lukman berharap generasi muda pekerja migas Indonesia mengambil peluang untuk meningkatkan keahlian mereka.
Jadi sedikit mengherankan bila pemerintah membuat peraturan yang justru berdampak negatif terhadap kemajuan industri migas di Indonesia. Misalnya, ketentuan umur tenaga expat maksimal 55 tahun dan meminta tenaga kerja expat untuk menguasai bahasa Indonesia. Hal-hal teknis seperti ini seharusnya tidak perlu diatur oleh UU tertentu karena toh para pekerja asing akan belajar atau terdorong untuk belajar bahasa Indonesia dan budaya lokal. Proses interaksi bahasa dan budaya merupakan hal yang lumrah bagi pekerja bila bekerja di sebuah negera.Demikian juga pekerja migas Indonesia yang bekerja diluar negeri. Menguasai bahasa Inggris menjadi keharusan.
Era mendapatkan migas secara mudah memang telah lewat. Sekarang Indonesia membutuhkan teknologi yang lebih maju dan tenaga manusia yang berkompeten untuk menemukan dan mengembangkan cadangan migas yang baru, yang kini semakin sulit ditemukan. Dalam kasusu tertentu, tenaga ahli, yang kebetulan tenaga asing, cukup banyak yang berumur di atas 55 tahun. Seharusnya pemerintah membuat peraturan yang lebih flexible. Tidak kaku.
Disamping itu, migas adalah sebuah industri yang membutuhkan konsisten kebijakan karena investasi migas bersifat jangka panjang. Kebijakan tidak bisa diubah-ubah di tengah jalan. Investasi yang dikeluarkan hari ini, mungkin baru akan memberikan return 5-15 tahun mendatang. Karena itu, perubahan kebijakan yang drastis dan tiba-tiba dapat berdampak buruk pada kemajuan industri .
Seiring dengan semakin berkembangnya industri migas di Tanah Air, maka pendidikan yang terkait industri minyak dan gas bumi juga perlu dikembangkan dan tersedia semakin luas, tidak hanya terpusat di Jawa seperti ITB atau ITS (Surabaya). Pemerintah perlu membangun sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang menawarkan program teknologi perminyakan.
Menurut Yvonne Chen dari American Chamber of Commerce, saat ini lulusan beberapa universitas di Idnonesia tidak cukup untuk memenuhi permintaan industri migas, khususunya insinyur perminyakan (petroleum engineers). Hanya 30.000 lulusan dari total 1,4 juta lulusan perguruan tinggi, atau 16 persen, adalah insinyur. Padahal Indonesia membutuhkan 50.000 insinyur setiap tahun. Jadi saat ini masih ada gap sebesar 40 persen antara kebutuhan tenaga dan ketersedian tenaga kerja. Sebelum 2025, gap tersebut akan meningkat menjadi 70 persen.

Dalam konteks ini, kehadiran perusahaan migas dunia yang mengembangkan proyek-proyek migas raksasa dan rumit akan menguntungkan Indonesia. Dari sisi trasfer teknologi, para pekerja migas nasional dapat melakukan transfer teknologi. Peluang transfer teknologi dapat dioptimalkan Indonesia, apalagi sekitar 93% tenaga kerja di perusahaan-perusahaan migas asing di Indonesia adalah pekerja nasional, seperti di BP, CPI, ExxonMobil, ConocoPhillips, Inpex serta Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesia. Proses transfer teknologi dapat juga menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kontrak Blok Mahakam pasca 2017.

Berbeda dengan industri lain, industri migas bersifat universal dan terbuka. Siapa yang berkompeten dapat bekerja dimana saja di dunia. Bahkan dewasa ini, cukup banyak pekerja migas Indonesia yang bekerja di Timur Tengah, Afrika maupun di Amerika Selatan. Karena itu, tugas pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang sehat agar industri migas terus berkembang, tidak membuat peraturan yang justru menghambat kemajuan industri migas.  (*)