Sesi pertama debat Calon Presiden-Calon Wail
Presiden (Capres dan Cawapres) Senin malam membahas tiga tema utama,
pembangunan demokrasi, reformasi birokrasi dan pembangunan hukum.
Ketiga-tiganya penting. Kedua pasangan Capres-Cawapres telah memaparkan visi
dan misi mereka terkait ketiga hal tersebut. Reaksi masyarakat pun
bermacam-macam, namun secara umum perdebatan pertama tampaknya Joko Widodo
lebih unggul dibanding pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dari berbagai aspek, baik
dari aspek penguasaan panggung, penguasaan materi, relasi dengan penonton
(komunikatif) maupun dari segi konten.
Sesi debat Calon Presiden-Calon Wail Presiden
Senin malam lalu memancing diskusi dan perdebatan di publik, baik di
media-media arus utama maupun di media-media sosial. Salah satu masalah yang
dibahas adalah masalah korupsi. Yang menarik perhatian publik, pandangan dan
pernyataan kontroversial Capres Prabowo Subianto terkait kasus korupsi yang mewabah di tanah
air dan cara mengatasinya.
Menurut Prabowo
Subianto, masalah korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kurangnya apresiasi
terhadap pejabat atau aparatur negara negara. Dia mengakui masalah utama yang
dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah korupsi, kinerja pemerintah yang
tidak maksimal, dan rasa keadilan bagi kaum yang berkecukupan.
Untuk mengatasi
korupsi, maka pertama yang dilakukan adalah mengurangi kebocoran-kebocoran.
Dengan mengurangi kebocoran, maka pemerintah punya dana yang cukup untuk
meningkatkan kualitas hidup aparatur negara.
Berikut cuplikan pernyataan Prabowo Subianto
terkait penanganan masalah korupsi:
“Memang
kita rasakan, inilah kelemahan bangsa kita sekarang. Korupsi, kinerja pemerintah
yang kurang maksimal dan keadilan hanya bagi yang kuat dan kaya. Bagi kami, ini
suatu akibat dari kebocoran-kebocoran kekayaan nasional yang besar. Dengan kobocoran-kebocoran
yang besar yang diakibatkan oleh masalah sistemik, akhirnya tidak ada sumber
daya yang cukup untuk menjamin kualitas hidup aparat negara yang menjamin
jalannya pemerintahan. Artinya, korupsi terjadi di Indonesia karena
pejabat-pejabat yang berkuasa di Indonesia, takut, takut pensiun. Umpanya gaji
6-7 juta rupiah, padahal saat kampanye, misalnya, dia habiskan Rp 15 miliar. Akibatnya,
dia akan ambil dari APBN. Menteri juga begitu. Gajinya Rp 18 juta, padahal
tanggungjawabnya besar. Karena kualitas hidup, sistem demokrasi kita yang
liberal mewajibkan pemimpin politik untuk cari uang untuk melakukan kampanye
politik. Sehingga dia andalkan kader di DPR dan di Kementerian.
Itulah
maka elit, pemerintah lengah, sumber daya alam terlalu banyak mengalir ke luar
negeri. Nah, kalau mau perbaiki atau kurangi korupsi, kita harus menjamin
kualitas hidup aparatur negara. Hakim, polisi, jaksa, semua penegak hukum,
semua pejabat di tempat-tempat penting harus dijamin kualitas hidupnya. Sebagai
contoh hakim agung di inggris, gaji terbesar, lebih besar daripada PM. Kita mau
perbaiki. Kami ingin pertama menutup kebocoran. Kita kalau bicara ingin
memperbaiki ini, itu, ujung-ujungnya urusan duit. Karena itu, penegak-penegak
hukum harus ditingkatkan kemampuan manajerial dan teknisnya. Ini semua butuh
dana besar.
Kemudian
rekruitmen. Kita rekrut orang terbaik, menggunakan teknologi informasi terbaru,
seperti e-government, dan lain-lain, untuk
mengurangi kebocoran-kebocoran. Sebanyak mungkin kita menggunakan teknologi
informatika untuk mengurangi kebocoran-kebocoran itu. Dengan mengurangi kebocoran-kebocoran
itu, kita punya dana untuk memperbaiki kualitas hidup, baru kit abisa ciptakan
pemerintah bersih, bebas dari korupsi, yang brkinerja tinggi, yang melindungi
dan melayani rakyatknya.”
Gaji Bukan Penyebab
Pernyataan
Prabowo memancing reaksi masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah
gaji yang kurang menjadi faktor utama terjadinya korupsi? Benarkah sistem demokrasi
yang mahal, yang membuat para politisi keluarkan dana besar untuk kampanye
untuk mendapatkan posisi sebagai pejabat publik seperti Bupati, Gubernur, DPR
dan pejabat-pejabat lain? Secara tidak langsung Prabowo juga menyinggung
seorang Presiden mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan posisi sebagai
Presiden, seperti yang dia jalankan saat ini.
Mungkin
pertanyaan tersebut diajukan kepada para aparatur negara, baik yang jujur,
bersih dan menjalankan tugas dan amanahnya sebagai pelayan rakyat maupun mereka
yang terlibat kasus korupsi. Bila kita menanyakan ke aparatur negara yang jujur
dan bersih, mereka akan mengatakan tidak setuju. Tidak adil juga bila kita
langsung menganggap pegawai yang bergaji rendah akan korupsi. Stigma seperti
tepat.
Bila kita menanyakan
pertanyaan yang sama kepada para aparatur negara yang korup, yang terlibat
kasus korupsi, kita mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti. Yang
jelas, justru pejabat yang bergaji tinggi dan punya posisi penting, yang
terlibat korupsi. Lihat saja, Akil Mochtar, Ketua MK, yang kini ditahan KPK,
mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, mantan Menpora Andi Malarangeng, mantan
menteri Agama Surya Dharma Ali yang kini jadi tersangka kasus korupsi di
Kementerian Agama, dan masih banyak lagi. Hampir pasti, gaji yang rendah
menjadi faktor utama mereka korupsi, karena mereka mendapatkan gaji besar dan
fasilitas negara yang jauh lebih tinggi dibanding aparat negara biasa lainnya.
Dengan demikian,
pernyataan Capres Prabowo Subianto dengan menyalahkan gaji rendah sebagai
penyebab korupsi terbantahkan dan hanya menyederhanakan persoalan. Seseorang
menjadi aparatur negara karena dia tahu dia akan mendapatkan kompensasi yang
teratur setiap bulan hingga pensiun. Dia tahu hak, kewajiban dan konsekuensi
menjadi pelayan masyarakat. Bila ingin menjadi kaya dengan cara korupsi,
pilihlah profesi lain, misalnya menjadi pengusaha. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar