Pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berkuasa selama 10 tahun akan meninggalkan
pekerjaan rumah yang banyak dan besar untuk pemerintah mendatang, siapapun
pemenang dalam Pemilihan Presiden pada tanggal 9 Juli nanti. Salah satunya adalah
memenuhi kebutuhan energi bagi penduduk yang berjumlah 240 juta jiwa ini. Pemenuhan
kebutuhan akan energi tersebut kini terancam. Dengan kata lain, keamanan energi
(energy security) Indonesia kini terancam. Karena itu, pemerintah baru perlu
membuat kebijakan energi yang komprehensif atau lengkap serta peta jalan yang
jelas bagaimana mencapai sasaran pemenuhan kebutuhan energi tersebut.

Namun, pemenuhan kebutuhan energi itu kini terancam dan bila tidak ada terobosan, maka ekonomi Indonesia bakal terguncang setiap kali ada gejolak perekomian internasional atau gejolak harga minyak. Gejala dan persoalannya sebetulnya sudah kasat mata berada di depan mata. Pertama, produksi minyak Indonesia terus turun, sementara produksi gas stagnan. Saat ini (2014) produksi minyak hanya berkisar 800,000 bph, menurun dari 1,5 juta bph thn 1995. Tahun 2011 lalu produksi minyak Indonesia masih di atas 900,000 bph.
Kedua, cadangan minyak tidak bertambah, sekitar 3,7 milyar barel atau cukup untuk 12 tahun, bila tidak ada penambahan cadangan. Cadangan gas bumi masih cukup untuk beberapa dekade, tapi akan habis juga bila tidak ada penambahan cadangan. Karena itu, perlu upaya dan terobosan agar cadangan migas meningkat lagi. Ini harus menjadi perhatian pemerintah baru nanti. Pertanyaannya, apakah masalah mencari cadangan migas (eksplorasi) migas bisa diambil alih dan menjadi tanggungjawab Pertamina? Bila pertanyaan ini kita ajukan ke Pertamina, Pertamina pasti akan menjawab tidak bisa. Apalagi saat ini sebagian besar potensi cadangan migas Indonesia berada di lepas pantai, laut dalam atau daerah-daerah frontier. Itu berarti biaya dan risiko eksplorasi makin besar. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia perlu mengundang dan melibatkan investor migas dunia untuk aktif melakukan eksplorasi.
Bagaimana
langkah pemerintah baru nanti mengundang investor? Salah satu upaya adalah
menciptakan iklim investasi yang bagus, dengan menghapus atau menyederhanakan
sistem birokrasi, mempermudah proses perizinan, dll. Pada saat yang sama pemerintah
meningkatkan kapasitas nasional dan perusahaan nasional. Kita tidak bisa
mengusir perusahaan migas asing untuk meningkatkan kapasitas nasional. Dengan
kata lain, meningkatkan kapasitas perusahaan nasional dapat dilakukan dengan
menciptakan iklim yang sehat, menciptakan level playing field, memberikan
insentif, dll, tidak harus dengan menasionalisasi aset migas asing yang ada di
Indonesia. Langkah pengambilan paksa, hanya akan mengirim sinyal bahwa
Indonesia tidak ramah terhadap investasi asing.
Dalam
konteks ini kita perlu menyimak dan mendalami lebih jauh langkah politisi
Gerindra Hashim Djojohadikusumo dengan menjanjikan blok Mahakam akan diberikan ke Pertamina. Sebagai politisi,
sah-sah saja memberikan janji politik, tapi tidak menjamin janji akan ditepati.
Lagi pula, memberi janji bisa juga dimotivasi oleh keinginan tertentu. Seorang
pembaca dalam komentarnya di media online mengatakan, “Biasanya kalau sudah
panik, sudah mulai membuat janji-janji surga untuk mendapat dukungan.”
“Sudah kebaca maunya, janji Blok
Mahakam diserahkan ke Pertamina biar dapat dana (kampanye) dari Pertamina. Tak
usahlah mengelus-elus Pertamina. Biar perusahaan ini mandiri, jangan dikasih
beban politik. Tanpa diberi Blok Mahakam pun Pertamina akan menjadi perusahaan
besar asal jangan dijadikan sapi perah. Biarkan Blok Mahakam dikelola oleh
pihak-pihak yang berkompeten dan berproduksi optimal sehingga bisa menyumbang
ke negara lebih banyak,” ujar pembaca
tersebut.
Banyak
tanggapan sinis pembaca, menyikapi pernyataan politisi Gerindra tersebut, yang
juga adik dari calon presiden Prabowo Subianto.
Masalah
lain yang kita hadapi adalah soal subsidi BBM yang besar. Setiap tahun
pemerintah memberikan subsidi BBM sekitar Rp300 triliun. Ini juga
diakibatkan oleh produksi migas yang menurun sehingga Indonesia terpaksa
mengimpor minyak yang harganya tinggi.
Kita
berharap presiden atau pemerintah mendatang dapat fokus pada isu-isu yang
penting, terutama mengatasi pemenuhan kebutuhan energi, bukan fokus pada
isu-isu sempit misalnya apakah suatu blok (Blok Mahakam misalnya) diberikan ke perusahaan A, atau B.
Kita butuh kebijakan energi yang menyeluruh dan terintgrasi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar