![]() |
Biofuel |
Seringkali dalam pembahasan soal pasokan
energi Indonesia ke depan, biofuel yang dibuat dari kelapa sawit disebut
sebagai salah satu calon sumber bahan bakar minyak. Biofuel dari kelapa sawit
juga disebut sebagai sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan hidup, serta
ekonomis. Namun, pikiran ini
sesungguhnya sangat keliru dari beberapa segi.
Salah satu tujuan dari kebijakan pemerintah
yang mendukung biofuels adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari
pembakaran minyak konvensional. Karena carbon di dalam buah sawit adalah hasil
penangkapan karbon dioksida dari atmosfer bumi, seharusnya dengan membakar kembali,
dampak net adalah zero karbon teremisi, bukan? Sayangnya, ini tidak benar,
karena hitungan ini tidak meliputi dampak emisi gas rumah kaca dari pembukaan
lahan untuk perkubunan sawit, yang disebut oleh ahli iklim sebagai land use and
land-cover change (LULCC). Banyak perkubunan sawit di Indonesia didirikan atas
lahan gambut, yang digundulkan, dikeringkan, dan ditanam bibit kelapa sawit.
Masalahnya, lahan gambut ini merupakan simpanan karbon dalam kuantitas luar
biasa besar, terlindungi dan terkunci di tanah gambut karena terendam air. Saat
dikeringkan dengan digali kanal, karbon yang tersimpan melepas dengan perlahan
tapi pasti – atau, seringkali – terlepas dengan amat cepat saat lahan gambut
terbakar karena kering.
Kebakaran ini bisa terjadi secara tak
sengaja, dari petir atau jatuhnya bara rokok, atau sengaja oleh perusahan yang
ingin lahan gambut -- yang secara alami sangat bersifat asam -- menjadi lebih
subur dengan adanya alkali dari abu
kebakaran.
Pelepasan karbon ini sudah memposisikan
Indonesia sebagai pengemisi gas rumah kaca tingat ketiga di dunia.
Selain masalah emisi karbon, ada juga
dampak lingkungan hidup dengan hilangnya hutan, yang merupakan habitat buat
jutaan spesies satwa termasuk harimau Sumatera dan gajah, yang sudah terancam
punah. Adapun masalah lain: saat makanan (minyak sawit) diolah menjadik sumber
bbm, ada dampak buruk terhadap harga pasar untuk makanan pokok. Tentu saja ini
menyulitkan kaum miskin.
Jadi, solusi untuk masalah langkahnya bbm
di Indonesia bukan biofuel. Mending kita manfaatkan satu sumber energi yang
selama ini kurang dimanfaatkan untuk transportasi, yaitu gas bumi. Program yang
direncanakan Jokowi untuk membantu konversi
armada transportasi tanah air dari minyak (premium) ke gas (LPG) sangat tepat.
Kita menantikan pelaksaan, dan tentu juga upaya untuk memastikan tingkat
produksi gas dalam negeri tetap dijaga dan jika bisa, dinaikkan. Untuk ini kita
perlu kerjasama dengan ahli perusahaan migas supaya gas fields di Indonesia
dikelola dengan optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar