![]() |
solar Pertamina |
Perselisihan antara Pertamina dengan Perusahaan Listrik
Negara (PLN) terus berlanjut. Kekisruhan ini diawali ketika Direktur Pemasaran
dan Niaga Pertamina Hanung Budya mengancam Pertamina akan menghentikan pasokan
solar ke pembangkit-pembangkit listrik PLN apabila PLN tidak membayar harga
solar sebesar 7,8 persen dari Mean of Plats Singapore (MOPS). Sampai sekarang
PLN masih membayarnya dengan ketentuan harga solar 5 persen dari MOPS. Menurut
Pertamina, harga itu sudah sesuai kesepakatan antara Pertamina dengan PLN
berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Pertamina mengaku
tak mau merugi terus karena harga lama disebut merugikan perusahaannya.
"Satu semester Pertamina rugi 45 juta dollar karena
jual ke PLN. Gak boleh, jualan gak boleh rugi dong," ujar Hanung. Dia
kemudian menambahkan bahwa sebenarnya Direktur Utama PLN dan Pertamina sudah
bertemu untuk membicarakan masalah ini. Namun ia mengakui bahwa pertemuan
tersebut hanya menghasilkan kesepakatan untuk kembali menghitung harga jual BBM
dari Pertamina ke PLN. "Kemudian Dirut PLN usul tarik second opinion, kita
sepakat, lalu Dirut PLN tulis surat ke BPKP minta hitungan beliaU harganya
berapa yang layak untuk Pertamina," pungkasnya.
Sedangkan Kepala Divisi Gas dan BBM PLN Suryadi Mardjoeki
mengatakan bahwa mereka hanya melaksanakan keputusan Kementerian Keuangan.
Harga kajian BPKP disebutnya tak disetujui oleh Dirjen Anggaran Kementerian
Keuangan. Akibatnya, PLN tak bisa memproses pembayaran harga yang baru itu.
Menurut pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi
Notonegoro, seharusnya pemerintah segera turun tangan dalam polemik tersebut.
Polemik harga itu disebut tak akan bisa selesai jika cuma diurus secara
business-to-business antara Pertamina dengan PLN selaku badan usaha milik
negara (BUMN).
"Saya kira kalau diserahkan pada B-to-B agak sulit
diselesaikan. Simpulnya ada di Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian
Keuangan," ujar Komaidi. Menurutnya lagi, Kementerian Keuangan,
Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral harus segera menyelesaikan polemik harga solar antara PLN dengan
Pertamina itu dikarenakan listrik adalah merupakan hajat hidup orang banyak. Sedangkan
Pertamina sudah mengancam akan menghentikan pasokan solar jika PLN tak memenuhi
harga sesuai klausul kontrak. "Kalau diserahkan ke PLN dan Pertamina,
nanti debatnya, 'mana duluan, telur atau ayam?' Dua-duanya punya argumen yang
kuat," tambahnya.
Apabila memang benar Pertamina akan menghentikan listrik ke
PLN, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi gelap karena pasokan solar
ke pembangkit listrik PLN selama ini mayoritas berasal dari Pertamina.
Kebutuhan BBM PLN pada tahun ini mencapai 7,1 juta kiloliter, sedangkan yang
dipasok oleh non-Pertamina hanya tidak sampai sejuta kiloliter!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar