![]() |
mobil nasional? |
Berita tentang perginya Jokowi ke Malaysia yang ternyata
untuk melakukan penandatanganan MoU antara Proton Malaysia dan sebuah
perusahaan Indonesia untuk penyusunan studi kelayakan pengembangan mobil
nasional Indonesia mencuri perhatian publik.
Persoalan mobil nasional selalu menarik perhatian karena
sekurangnya tiga alasan pokok.
Pertama, argumen bahwa negara sebesar Indonesia dengan
jumlah penduduk yang sangat besar, kelompok kelas menengah yang semakin
dominan, serta pendapatan masyarakat yang menaik secara gradual haruslah
memiliki industri otomotif yang memiliki label 'nasional' atau milik Indonesia
dengan berbagai atributnya.
Kedua, mendorong keberadaan mobil sebagai sarana
transportasi memiliki paradoks terhadap upaya pemerintah dan khususnya Presiden
Jokowi mendorong angkutan umum. Pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta,
kita begitu terkesan dengan ucapannya, "Kita butuh transportasi murah,
bukan mobil murah!"
Harga murah yang terjadi bukan karena efisiensi di sektor
produksi, melainkan pengurangan pajak yang seharusnya menjadi hak masyarakat
yang lebih luas.
Ketiga, upaya mendorong industri otomotif memiliki pendukung
yang fanatik karena sektor itu menjadi penghela pertumbuhan ekonomi nasional.
Industri otomotif itu dipromosikan sebagai sektor yang tahan terhadap dinamika
ekonomi regional global. Produsen otomotif di Indonesia yang tergabung dalam
Gaikindo merupakan proponen dari argumen itu karena jelas memengaruhi
keberlangsungan bisnis mereka.
Apa reaksi masyarakat Indonesia terhadap berita
penandatanganan MoU antara Proton dan perusahaan Indonesia?
Tidak ada antusiasme yang menggelora. Tidak ada penolakan
yang kritis dari para ahli transportasi dan pakar lingkungan. Tidak ada
komentar keras, baik yang mendukung atau menolak dari kelompok produsen
otomotif.
Semua pihak memberikan tanggapan normatif dan dugaan saya,
media akan membiarkan berita tersebut berlalu tanpa kesan. Semua terlihat
biasa-biasa saja.
Ada fenomena menarik yang kita lihat dari kondisi ini.
Sebagai mazhab pembangunan, barangkali pandangan politik yang diwujudkan dengan
produk yang berbau 'nasional' tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat.
Bagi masyarakat yang rasional, yang paling penting bagi mereka ialah produk
yang bermanfaat dengan biaya yang sesuai dengan daya beli.
Nasionalisme tidak lagi berwujud dalam bentuk fisik karena
masyarakat menyadari produksi barang dilakukan dengan sistem global supply
chain. Para ahli transportasi apatis dengan berbagai rencana pemerintah yang
seolah menjalankan kebijakan yang paradoksal. Ketika upaya mendorong penggunaan
angkutan umum dipandang kurang progresif, upaya merasionalkan pemanfaatan
kendaraan pribadi seolah macet di tengah jalan.
Menarik bahwa masyarakat kita akhirnya bisa lepas dari
sentimen nasionalisme dan lebih memilih untuk menjadi rasional. Apabila kita
kaitkan dengan sektor migas Indonesia, tentunya hal ini akan menjadi lebih
menarik lagi. Sentimen-sentimen nasionalisme yang kemudian bisa menyebabkan
terhambatnya produksi migas di Indonesia harus ditinggalkan.
Seperti di Blok Mahakam misalnya, apabila masyarakat memang
rasional, tentunya tidak akan membiarkan Pertamina sendirian dalam mengelola
blok tersebut. Kerjasama dengan Total E&P yang selama ini mengelola blok
tersebut akan menjadi pilihan yang lebih rasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar