![]() |
Ahok |
Enam belas tahun pasca tumbangnya Orde Baru di bawah
kediktatoran Suharto, Indonesia menikmati demokrasi layaknya negara-negara maju
lainnya di dunia ini. Pemilu dilaksanakan di seluruh pelosok Indonesia dengan
jujur dan adil dan transparan. Pemilu terakhir melahirkan presiden terpilih
Jokowi yang memang dicintai oleh rakyat. Namun baru-baru ini terjadi tamparan
yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi bangsa ini yakni Rancangan
Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).
RUU Pilkada tersebut rencananya akan mengembalikan pilkada
ke DPRD dinilai oleh banyak pihak sebagai sebuah kemunduran demokrasi di
Indonesia. "Saya melihat hal ini merupakan kemunduran demokrasi," ujar
pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung Arizka Warganegara.
Dia menyampaikan bahwa sejak awal cita-cita reformasi adalah
meletakkan desentralisasi politik secara nyata di kabupaten dan kota. Namun,
nyatanya dengan diberlakukannya RUU ini maka komitmen meneruskan tradisi dan
cita-cita reformasi itu lenyap. Dia juga menyebutkan bahwa salah satu
alternatif menekan persoalan muncul dalam pilkada langsung antara lain dengan
membarengkan pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada.
Selain itu, pengamat politik dari FISIP Unila lainnya, Dr
Syarief Makhya mengatakan bahwa penentuan keputusan politik atas cara pemilihan
kepala daerah harus bisa menjawab persoalan pokok yang telah menjadi masalah
dalam pilkada itu. "Hal pokok apakah kepala daerah dipilih langsung oleh
rakyat atau dipilih DPRD, yaitu harus terjamin prinsip jujur dan adil," kata
Syarief.
Lebih lanjut lagi, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia (Apeksi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apoksi) juga
telah menyatakan bahwa mereka menolak pilkada yang diwakili oleh DPRD.
Penolakan tersebut akan langsung diberitahukan pada Presiden SBY melalui surat
tertulis.
"Menolak secara tegas pemilihan kepala daerah
dikembalikan kepada DPRD. Rekomendasi ini akan disampaikan pada yang terhormat
Presiden RI, Wakil Presiden RI, Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, Menkopolhukam,
Mendagri, Menkum dan HAM, bupati dan walikota," ujar Ketua Apeksi Vicky
Lumentut.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra juga
mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak langsung bisa batal bila SBY
turun tangan. "Kalau tidak setuju maka tidak bisa disahkan,"
tegasnya.
Walikota Bandung Ridwan Kamil berujar bahwa pihak yang
paling menderita jika pilkada tak langsung diterapkan adalah para kepala
daerah. Walaupun saat pilkada didukung PKS dan Gerindra, ia mengaku tidak takut
dengan sanksi yang akan diberikan.
"Objek penderita itu bupati dan walikota, selain itu
rakyat. Bukan urusan sanksi, itu urusan kesekian. Ini mewakili suara
rakyat," pungkasnya.
Yang paling heboh tentunya adalah pengunduran diri Ahok dari
Gerindra sebagai bukti pernyataan sikap ketidaksetujuannya terhadap sikap
partai yang mengkampanyekan penghapusan pilkada langsung tersebut.
Sepertinya penolakan masyarakat dari berbagai kalangan
terhadap RUU Pilkada ini sangat luas. Semoga saja aspirasi tersebut memang
didengarkan dan RUU tersebut tidak jadi disahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar