![]() |
pertambangan Newmont |
PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) sudah berhenti beroperasi
sejak 5 Juni 2014 lalu. Sebabnya adalah ketentuan ekspor yang baru, penerapan
bea keluar, dan larangan ekspor sehingga berdampak pada kelayakan ekonomi
operasi tambang Batu Hijau dan tidak sesuai dengan kontrak karya. Akibatnya
ribuan buruh yang sebelumnya bekerja di NNT juga terpaksa dirumahkan dan belum
ada kejelasan hingga saat ini.
Selain itu, berhenti beroperasinya NNT juga berdampak pada
penumpukan konsentrat! NNT merugi besar karena ini. Stok konsentrat yang
dimaksud sebagian besar adalah emas dan tembaga. "Stok jumlah konsentratnya
saat ini sudah 93.800 ton, sedangkan kapasitas gudang hanya 90.000 ton," ujar
Manager Procesing and Powerplant PT NNT Ilyas Yamin.
Sebelum peraturan pelarangan ekspor tambang mentah
diterbitkan, NNT rutin mengekspor hasil tambangnya ke beberapa negara seperti
Jepang dan Korea. Menurut NNT, estimasi produksi tahun ini mencapai
200.000-300.000 ton, naik dibandingkan dengan pencapaian tahun 2013 lalu yang
hanya kurang lebih 250.000 ton.
"Biasanya kita jual dan ekspor salah satunya ke Korea
Selatan dan Jepang. Setiap satu ton konsentrat mengandung tembaga 24,7%, emas
6,5 gram/ton, dan perak 43 gram/ton," jelasnya.
Yang bisa dilakukan pihak NNT saat ini hanyalah mengirimkan
konsentrat untuk diolah ke salah satu smelter di Jawa Timur yaitu PT Smelting
Gresik. Kontrak pembelian PT Smelting Gresik kepada NNT sebesar 124.000 ton
pada tahun 2014 ini.
"Dengan adanya pasokan konsentrat di gudang kita bisa
penuhi permintaan Smelting Gresik. Kita harapkan kita bisa dapat izin ekspor
agar kita bisa kembali beroperasi. Sekarang karyawan yang bekerja hanya 20%
karena dirumahkan situasi cukup sepi, kita hanya lakukan pemeliharaan sehingga
bisnis-bisnis di sekitar tambang juga cukup sepi. Kerugian juga cukup
besar," ucap Ilyas.
Buntut lain dari tutupnya NNT adalah bahwa NNT dan Nusa
Tenggara Partnership (NTP), pemegang saham mayoritas NNT, akan membawa kasus
ini ke arbitrase internasional. Langkah ini diambil karena NNT menilai bahwa
aturan yang diterapkan pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan
perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.
“Meski kami telah melakukan berbagai upaya terbaik selama 6
bulan terakhir untuk menyelesaikan isu ekspor melalui komitmen atas dasar niat
baik untuk mendukung kebijakan Pemerintah, PTNNT belum dapat meyakinkan
Pemerintah bahwa KK berfungsi sebagai rujukan dalam menyelesaikan perbedaan
yang ada,” keluh Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto.
Memang cukup disayangkan ketidakpastian hukum yang dialami
oleh NTT. Namun apakah benar peraturan baru tersebut akan lebih menguntungkan
Indonesia ke depannya? Apabila pemerintah Indonesia kalah di arbitrase
internasional tersebut, maka sepertinya ganti rugi yang harus dibayar
pemerintah tidak akan murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar