Kamis, 21 November 2013

Menteri BUMN Indonesia Dahlan Iskan Dituduh Bermain Bisnis dengan Pertamina, Benarkah?


Meneg BUMN Dahlan Iskan ditengah kontroversi
Dalam era keterbukaan seperti sekarang, penting untuk melihat sosok pemimpin dan pejabat pemerintah secara kritis. Masyarakat dituntut tidak hanya melihat sisi poisitif pejabat tersebut, tapi juga perlu juga jeli melihat sisi negatif. Dengan demikian, penilaian dan persepsi publik terhadap pejabat tersebut seimbang dan mendekati kebenaran. Salah satu sosok yang perlu dilihat secara kritis tentu saja Dahlan Iskan, Menteri BUMN, apalagi DI, demikian ia sering disapa awak media, menangani badan usaha milik negara (BUMN) dengan nilai aset ribuan triliun rupiah. 


Dahlan Iskan sejauh ini dimata publik merupakan sosok yang sederhana dan pekerja keras. Namun, disisi lain ia juga terkadang aksinya menuai kontroversi. Lihat saja ketika dia menyutujui penjualan 10% saham Garuda ke perusahaan CT Corp, milik Chairul Tanjung. DI dikritik karena kedekatannya dengan CT telah memuluskan penjualan saham tersebut. Demikian juga ketika TelkomVision dilepas ke CT Corp. Penjualan saham TelkomVision tersebut juga tidak mulus dan ditolak oleh sebagian anggota DPR. Anggota DPR curiga penjualan saham Telkom Vision ke CT Corporation sedikit banyak dipengaruhi kedekatan DI dengan pemilik CT Corp. 


Kontroversi yang terbaru terkait dengan anak perusahaan Pertamina. Dahlan Iskan dituduh ‘ada main’ dengan salah satu anak perusahaan Pertamina sehingga merugikan perusahaan minyak dan gas milik negara tersebut (skalanews.com). DI dituduh mengintervensi operasional anak perusahaan Pertamina tersebut.


Pemerhati energi nasional, Yusri Usman, menuding Menteri BUMN Dahlan Iskan terlibat praktik bisnis, dengan cara mengintervensi operasional PT Pertamina. Dalam suratnya kepada Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia dan juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina, Yusril menyampaikan adanya masalah Kerja Sama Operasi (KSO) Pertamina EP, di Lapangan Limau Timur (asset 2) dan Lapangan Cepu (asset 4). KSO di Limau dan Cepu dilakukan dengan pihak swasta.


Mitra swasta yang digandeng adalah Daqing Oilfield Company Ltd, sebuah perusahaan asel negeri Tirai Bambu (China) dan PT Geo Cepu Indonesia. Geo Cepu, kata Yusri mengutip sumber-sumber yang dimilikinya, dikendalikan oleh Gunawan Hadi Putro, mantan karyawan ARCO Indonesia yang juga pernah bekerja di bawah Jawa Pos group, milik Dahlan Iskan. Yusri menduga Dahlan berperan dalam pelepasan lima blok gas metana batubara milik PT Pertamina Hulu Energi (PHE), ke PT Sugico Graha.


Publik punya hak untuk mencurigai dan mempertanyakan integritas Meneg BUMN apalagi sikapnya terkadang tidak konsisten. Misalnya, pada masa-masa awal dia diangkat menjadi Menteri BUMN, dia sangat getol untuk membubarkan Petral, importir minyak yang juga merupakan anak perusahaan Pertamina. Namun, belakangan DI tampak memasang badan untuk menjaga kepentingan Pertamina terkait kontrak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017. 

Pertanyaannya, apakah tuduhan Yusri Usman tersebut benar? Tentu Yusri tidak asal menuduh. Pasti ada bukti-bukti yang mendasari pernyataannya. Maka menjadi tugas Menteri BUMN untuk memberi klarifikasi kepada publik apakah tuduhan tersebut benar, setengah benar, atau tidak benar.  Bila tidak ada klarifikasi, boleh jadi publik akan mengiyakan, bahwa memang benar DI mengintervensi operasional anak perusahaan Pertamina tersebut.

Bila intervensi tersebut terjadi, maka patut disesalkan. Presiden perlu mengambil tindakan tegas. Kita tunggu, mudah-mudahan pihak DI akan segera memberikan tanggapan.


Terlepas dari tuduhan tersebut, satu hal yang pasti, BUMN memilik peran yang strategis dalam perekonomian nasional. BUMN-BUMN tertentu menjadi pendorong atau pemain utama di sektornya, seperti Pertamina (minyak dan gas bumi), PT Jasa Marga Tbk yang menjadi pemain utama di sektor jalan tol, PLN yang memonopoli listrik, dan lain-lain.  BUMN tidak saja menjadi driver atau pendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga menjadi salah satu sumber pendapatan negara, baik berupa dividen, pajak atau pendapatan lainnya.


Menteri BUMN berperan penting untuk memastikan BUMN-BUMN tersebut mencapai kinerja yang maksimal. Sangat disesalkan bila mandat yang diberikan negara disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. (*)

Senin, 11 November 2013

Mampukah Pemerintahan Yudhoyono Menghapus BBM Bersubsidi?



Isu penghapusan bahan bakar minyak (BBM) kembali menghangat setelah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto memberikan hasil rekomendasi pertemuan Kadin baru-baru ini di Palembang. Dari 9 butir hasil rekomendasi Kadin, satu diantaranya adalah merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghapus subsidi BBM. Alasannya, subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran.

Rekomendasi Kadin tersebut bukan tanpa alasan. Bila kita melihat, dalam beberapa tahun terakhir, subsidi BBM masih sangat tinggi, padahal dana subsidi tersebut lebih bermanfaat dipakai untuk membangun infrasture pedesaan, ketimbang dihabiskan untuk membakar dubsidi.

Untuk tahun 2012 dan 2013 saja, subsidi BBM mencapai Rp Rp 211,9 triliun dan Rp 199,9 triliun. Tahun 2014, subsidi bahan bakar minyak ditetapkan sedikit lebih rendah yakni Rp194,9 triliun. Namun, masih sangat tinggi. Bayangkan bila dana Rp194,9 triliun tersebut digunakan untuk membangun infrastructure.

Alasan berikutnya alokasi dana subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Masyarakat kelas menengah ke atas pun turut menikmati BBM bersubsidi ini. Seharusnya, para pemilik kendaraan pribadi dipaksa untuk membeli BBM non-subsidi. Kalau mereka punya dana untuk membeli kendaraan ratusan juta hingga miliaran rupiah, seharusnya juga berani untuk membeli BBM non-subsidi. Bila pemerintah mencabut BBM subsidi,  sebagian besar masyarakat kemungkinan mengurangi aktivitas berkendaraan mereka, dan beralih ke moda transportasi umum. Tentu ini juga harus didukung oleh perbaikan fasilitas transportasi publik.

Disamping itu, penyaluran dana subsidi BBM selama ini rawan penyalahgunaan. Ini terbukti dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BBM) baru-baru ini yang menemukan adanya dugaan mark-up atau manipulasi dana penyaluran subsidi atau public service obligation (PSO). Selama semester pertama tahun ini, BPK menenmukan 9 BUMN yang melakukan mark-up penyaluran dana subsidi hingga Rp9,03 triliun. Mark up terbesar ada pada BUMN listrik PT PLN. Berikut temuan dugaan penyalahgunaan penyaluran dana subsidi beberapa BUMN:
  1. PLN mencapai Rp 6,77 triliun
  2. PT Pertamina (Persero) senilai Rp 999,38 miliar
  3. Perum Bulog senilai Rp 707,66 miliar
  4. PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) senilai Rp 270,95 miliar
  5. PT Pupuk Kaltim (Persero) senilai Rp 51,67 miliar
  6. PT Pupuk Kujang (Persero) senilai Rp 25,33 miliar
  7. PT Petrokimia Gresik (Persero) senilai Rp 134,12 miliar
  8. PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) senilai Rp 16,37 miliar
  9. PT Pelni (Persero) sebesar Rp 48,05 miliar

Anggota BPK Ali Masykur Musa, seperti yang dikutip detik.com, menilai mark up penyaluran subsidi adalah tindakan tidak sehat yang dilakukan perusahaan pelat merah. Dana hasil mark up tersebut harus dikembalikan ke kas negara.

Mempertahankan subsidi BBM tampaknya telah membuat masyarakat umum dimanjakan oleh ‘fasilitas’ subsidi yang diberikan pemerintah ini. Masyarakat dininabobokan oleh pemerintah, sehingga pengurangan dana subsidi pun, yang diikuti oleh kenaikan tarif, masyarakat sontak berteriak.
Parahnya, pemerintah sendiri tampak tak punya peta yang jelas kapan subsidi BBM akan dihapus keseluruhan. Selama ini, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, selalu berarguman, bahwa penghapusan BBM bersubsidi sangat sulit. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah pengurangan dana subsidi BBM. Boleh jadi pemerintah tidak berani menghapus BBM bersubsidi karena ongkos politiknya terlalu mahal, apalagi jelang Pemilu 2014. Namun, ongkos dari ketidaktegasan pemerintah menghapus BBM juga mahal. Belanja pemerintah untuk pembangunan menjadi tidak signifikan karena sebagian dana dipakai untuk subsidi BBM. 

Melihat berbagai femonena diatas, saatnya pemerintah untuk mengambil keputusan tegas untuk menghapus BBM bersubsidi. Sebetulnya bukan cuma Kadin yang meminta pemerintah menghapus subsidi BBM.
Pada bulan Juli lalu, Komite Ekonomi Nasional pun telah mengusulkan agar subsdi BBM dihapus seluruhnya. Bila pemerintah memberikan subsidi, hendaknya dilakukan secara langsung kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan pemerintah.

Dipertahankannya subsdi BBM, juga berpengaruh pada mandeknya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Pengembangan EBT tidak berkembang karena masyarakat masih bergantung pada BBM bersubsidi. Harga BBM bersubsidi yang rendah membuat energi baru dan terbarukan menjadi tidak menarik. Padahal, subsidi yang diberikan pemerintah selama ini membuat stabilitas ekonomi yang semu. 

Lalu, kapan BBM bersubsidi dihapus? Tampaknya sulit kita mengharapkan pemerintahan SBY untuk menghapus BBM bersubsidi hingga 100%. Melihat karakter Presiden SBY yang terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan dan tidak berani mengambil risiko, sulit kita berharap bahwa subsidi BBM akan hilang di bawah era presiden SBY. 

Penghapusan BBM bersubsidi juga dapat memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara eksportir minyak. Bila negara Arab Saudi atau Brunei, memberi subsidi BBM kepada masyarakat mungkin masuk akal, karena punya produksi minyak diatas kebutuhan nasional. Karena itu, wajar bila mereka memberikan subsidi bagi masyarkatnya. Indonesia memang aneh. Kita (Indonesia) mengimpor ratusan barel minyak tiap hari, lalu menyalurkan subsidi kepada masyarakat.

Dengan melihat karakter pemerintahan SBY dan kekhawatiran kegaduhan kondisi masyarkat jelang Pemilu 2014, bisa jadi akan membuat pemerintah sendiri untuk mempertahankan subsidi BBM. Kalaupun ada pengurangan, persentasi pengurangannya juga tidak signifikan. Harapannya, pemerintah segera mengambil sikap tegas untuk menghapus subsidi BBM. Menghapus subsidi memang bukan kebijakan populis, tapi kebijakan yang penuh berisiko. Seorang pemimpin yang bijak, adalah seorang yang berani membuat keputusan dan juga berani mengambil risiko tidak disukai publik, demi untuk kepentingan yang lebih besar. (*)