Rabu, 21 Mei 2014

Pemerintah Baru Indonesia dan Kebijakan Energi



Indonesia saat ini menghadapi masalah energi yang kian pelik. Kebutuhan energi, terutama minyak dan gas bumi meningkat, sementara produksi minyak turun dan gas bumi stagnan. Ada gap yang lebar antara suplai dan permintaan. Selain itu, cadangan minyak turun, hanya mencukupi untuk 10-12 tahun mendatang. Cadangan gas bumi juga bakal menurun bila terus diproduksi tanpa diimbangi oleh penemuan cadangan baru.

Untuk itu, pemerintah baru perlu mendorong investasi, terutama untuk eksplorasi mencari cadangan migas baru. Kita saksikan kegiatan eksplorasi boleh dibilang stagnan karena pelaku industri galau akibat ketidakseriusan pemerintah dalam mendorong investasi eksplorasi. Insenif yang dijanjikan juga tidak atau belum diberikan. Banyak faktor penghambat investasi eksplorasi masih menghantui pelaku industri migas, termasuk isu pajak, penolakan masyarakat lokal, birokrasi perizinan yang rumit, tumpang tindih peraturan, dan lain-lain. Masih seabrek persoalan yang menjadi ranjau bagi masuknya investasi.

Persoalan lain yang harus dijawab dan diatasi oleh pemerintah baru adalah soal isu atau masalah subsidi BBM yang membengkak dan besar, yang mencapai Rp300 triliun setiap tahun. Bila dana subsidi itu digunakan untuk membangun infrastruktur gas, misalnya, atau membangun fasilitas publik lain, maka hal itu akan lebih bermanfaat.

Kita bersyukur kedua pasangan Capres, baik Jokowi dan Prabowo memiliki perhatian terhadap isu energi, walaupun belum dielaborasi secara detail. Hanya Jokowi yang telah memiliki tekad jelas untuk menghapus subsidi BBM. Dia mengatakan dia bertekad untuk menghapus subsidi BBM dalam 4 tahun, secara bertahap. Agak mengherankan memang, pemerintah saat ini terkesan takut menghapus atau mengurangi subsidi BBM, boleh jadi khawatir atas penolakan masyarakat. Tapi, sebagai pemimpin, harus memiliki keberanian, tentu keberanian yang dilandasi oleh perhitungan matang dan langkah nyata untuk mengatasi penolakan masyarakat.

Berbagai kelompok masyarakat telah memberikan masukan kepada pemerintah baru terkait berbagai permasalah energi di Tanah Air. Salah satunya adalah Pusat Studi Kebijakan Pubik (Puskepi). Lembaga ini mengungkapkan bahwa pembangunan sektor energi dan sumber daya mineral yang berkelanjutan, menjadi tantangan dan komitmen yang harus direalisasikan oleh pasangan capres-cawapres pilihan rakyat.

PUSKEPI mencatat sejumlah persoalan besar yang menjadi tantangan di sektor energi dan sumber daya mineral untuk disikapi serta harusnya menjadi bagian visi dan misi Presiden-Wakil Presiden terpilih. Mengingat hal ini menjadi pilar utama pendorong perekonomian nasional, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Pertama, Langkah strategis untuk memaksimalkan pendapatan negara di sektor energi dan sumber daya mineral seharusnya menjadi program kerja prioritas pemerintahan baru. Publik perlu mendapatkan jawaban dari para Capres dan Cawapres, Kebijakan dan terobosan apa yang ditawarkan terhadap upaya peningkatan pendapatan tersebut ke depan?

Dari pengalaman selama ini, upaya peningkatan pendapatan di sektor energi dan sumber daya mineral terkesan hanya melanjutkan program yang ada sebelumnya. Apakah para Capres dan Cawapres sudah memiliki konsep yang jelas terhadap hal ini  dan mampu diwujudkan ketika mereka berkuasa nantinya?

Kedua, bagaimana sikap   Presiden dan Wakil Presiden terpilih terhadap keberadaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Tentu kita serahkan kepada pemerintah mana yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Ketiga, tantangan peningkatan produksi minyak nasional. Sebab target lifting minyak dalam 10 tahun pemerintahan terakhir terus merosot. Lifting 870.000 barel yang dipatok dalam APBN 2014 kembali meleset, hanya tercapai kurang dari 820.000 barel. Dan kini ditetapkan 810.000 barel dalam APBN-Perubahan 2014.

Akankah Presiden dan Wapres baru nantinya mampu menggenjot target produksi sejuta barel bisa terlampaui ke depan? Bagaimana caranya?

Keempat, kondisi subsidi BBM yang terus meningkat setiap tahunnya dan selama ini dinilai membenani anggaran negara (APBN). Kebijakan strategis apa yang akan diambil oleh Pemimpin baru Indonesia terhadap subsidi BBM tersebut. Menghapus subsidi BBM yang berarti mengalihkan beban kepada rakyat atau mengeluarkan solusi lain?

Kelima, memaksimalkan pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ke depan, Pemerintah mau tidak mau harus mampu menjalankan tata kelola dan  manajemen gas yang terintegrasi (integrated gas management) yang meliputi pengelolaan gas secara menyeluruh termasuk LNG dan gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG).

Akankan jeritan industri nasional dan pembangkit listrik dapat terselesaikan oleh Pemimpin baru atau sebaliknya? Kemudian, bagaimana nasib regulator di bidang migas (SKK Migas) yang kini keberadaannya hanya  didasarkan keputusan presiden (Keppres) karena revisi UU Migas yang tidak pernah selesai segera dibubarkan ataukah keberadaannya malah akan diperkuat?

Keenam, di bidang ketenagalistrikan nasional, maraknya kasus pemadaman dan rendahnya rasio elektrifikasi (RE), menempatkan program ketenagalistrikan masih perlu ditata ulang untuk memperkuat dan keandalan pasokan listrik di seluruh wilayah NKRI.

Apalagi peningkatan rasio elektrifikasi tersebut menjadi indikator penting untuk memastikan roda perekonomian rakyat di daerah berjalan baik.

Target rasio eletrifikasi 100 persen mungkinkah bisa tercapai pada periode pemerintahan yang akan terpilih lewat Pilpres 9 Juli 2014 ini? Lalu, adakah kebijakan baru terhadap sistem pentarifan. Apakah hanya mengikuti kenaikan tarif secara bertahap yang sudah berjalan selama ini, atau adakah kebijakan lain yang pro rakyat.

Ketujuh, di bidang pertambangan. Kebijakan larangan ekspor bahan tambang/mineral mentah sebagai amanah dari UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara perlu mendapat perhatian agar UU tersebut tetap bisa dijalankan secara efektif dan sebagai pelindung dari "para pengeruk bumi yang tidak bertanggungjawab".  Tentu publik menanti sikap pemerintah baru, agar tetap memastikan seluruh sumber daya dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Kita berharap, pemerintah mendatang dapat memberi solusi terhadap berbagai persoalan energi yang dihadapi bangsa ini. Energi ibarat darah dalam tubuh, tanpa energi akan lumpuh. (*)

Kamis, 08 Mei 2014

PLTA Upper Cisokan Perlu Dipercepat Untuk Atasi Beban Puncak Jawa Bali

Proyek PLTA Cisokan, Bandung
"Waduh..., panasnya gila," demikian status BBM kolega saya, Iwan, sepulang rehat siang di bilangan Kuningan kemarin. Apa yang dirasakan Iwan juga dirasakan oleh belasan juta warga Jakarta dalam beberapa hari belakangan. Rupanya, panasnya cuaca berimbas pada penggunaan listrik warga Ibu kota dan sekitarnya serta kota-kota lain di Jawa. 

PLN mencatat beban puncak listrik Jawa Bali kembali mencapai rekor tertinggi sebesar 23.208 Megawatt (MW), yang terjadi pada Selasa, 6 Mei lalu, pukul 18.00 WIB. Rekor tersebut memecahkan rekor yang terjadi dua minggu sebelumnya yakni pada 24 April 2014, sebesar  22.974 (MW).
 
PLN mencatat beban puncak listrik Jawa Bali kali ini naik sebesar 2,84% dari beban puncak tertinggi tahun 2013 sebesar 22.567 MW yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 2013  jam 18.30 WIB.
 
PLN tentu dibuat sibuk untuk memenuhi permintaan dan konsumsi listrik warga. PLN mengatakan perusahaan itu terus berupaya memenuhi kecukupan pasokan listrik untuk mengantisipasi pertembuhan beban di sisi pelanggan. Hal ini dilakukan dengan terus membangun pembangkit baru, jaringan transmisi dan gardu induk.
 
Tentu membangun pembangkit baru untuk menambah pasokan listrik di jaringan Jawa-Bali tentu bukan perkara mudah dan dapat dipenuhi dalam semalam, seminggu atau sebulan. DIbutuhkan waktu yang cukup lama untuk menambah pasokan listrik secara signifikan. Namun, rencana PLN untuk menambah pasokan listrik di Jawa Bali memang merupakan keharusan dan bila perlu dilakukan langkah darurat (emergency) untuk mempercepat proyek-proyek pembangkit listrik yang ada, agar tidak molor-molor lagi.
 
Salah satunya adalah proyek pembangkit listrik tenaga air atau PLTA Uppor Cisokan, yang diperkirakan akan dapat membantu memenuhi kebutuhan beban puncak listrik Jawa Bali. Proyek ini sebenarnya sudah cukup lama direncanakan, namun hingga saat ini masih mandek alias macet. PLN dalam pernyataannya kemarin mengatakan bahwa perusahaan akan segera merealisasikan pembangunan proyek PLTA Uppor Cisokan Pumped Storage ini, dengan kapasitas jumbo, yakni 4x260 MW.
 
PLTA Upper Cisokan Pumped Storage berkapasitas 4 X 260 MW terletak di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. Proyek ini dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan daya sistem kelistrikan Jawa Bali dalam rangka mengantisipasi peningkatan kebutuhan energi listrik saat beban puncak (pukul 17.00 – 22.00) pada sistem kelistrikan Jawa-Bali, demikian ujar PLN.
 
Lalu bagaimana cara kerja PLTA ini yang kabarnya cukup unik?

Menurut keterangan PLN, cara kerja dari PLTA Upper Pumped Storage Cisokan yaitu pada siang hari memompa air dari bawah ke keatas untuk ditampung kembali kemudian pada sore harinya (17:00 - 22;000) air tersebut diterjunkan kembali untuk membangkitkan listrik. Sistem seperti ini pertama di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.
 
PLTA Upper Cisokan akan selesai dibangun pada tahun 2018 dengan memakan biaya sebesar 10 triliyun rupiah dan bila sudah beoperasi PLTA Upper Cisokan ini dapat menghemat atas subsitusi pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 10 triliyun per tahun.
 
PLTA Upper Cisokan diperkirakan akan menggunakan lahan di kab. Bandung Barat seluas 624,99 Ha, dan menggunakan lahan dikab. Cianjur seluas 216,36 Ha.
 
PLTA Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS) memiliki dua buah reservoir dibagian bawah dan atas, dengan cara membendung sungai cisokan menggunakan Dam beton tipe RCC (Rolled Compacted Concrete/beton yang dipadatkan) setinggi +/- 98 m, dan Dam yang membendung sungai Cirumamis setinggi +/- 75 m dengan tipe RCC, maka akan terjadi dua genangan air di dua reservoir yang memiliki selisih ketinggian +/- 300 m.
 
Air dari reservoir bawah dipompa ke reservoir yang terletak di atas dengan memanfaatkan sisa energi thermal (base load) yang diambil dari sistem interkoneksi jawa bali saat beban rendah pada tengah malam atau pagi hari. Kemudian pada saat beban puncak (peak load) antara pukul 17.00 -22.00, air dialirkan melalui dua buah terowongan (headrace tunnel) dan pipa pesat(penstock) menuju power house yang terletak dibawah tanah dengan ketinggian jatuh rata-rata (rated net head) sekitar 276 m. Kapasitas efektif masing-masing reservoir sekitar 10  juta m3 yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pada saat beban puncak selama 6,5 jam.
 
Melihat beban puncak yang terus meningkat beserta semakin besarnya permintaan suplai listrik masyarakat, baik perkantoran, perumahan dan pabrik, maka pemerintah, PLN dan pihak swasta perlu segera bergandengan tangan untuk mempercepak proyek PLTA di atas, serta proyek-proyek pembangkit listrik lainnya. Melihat tingkat urgensi, maka segala upaya perlu dilakukan agar proyek tersebut segera dikembangkan. (*)