Kebakaran pada pipa minyak Pertamina di Tasikmalaya, Jabar (foto Solo Pos) |
Pencurian juga tidak terjadi pada satu jalur pipa, tetapi terjadi di
berbagai tempat. Lokasi yang menjadi langganan pencurian minyak adalah jalur
pipa Tempino-Plaju di Sumatera Selatan dan pipa BBM CB C yang mengalirkan
premium di dusun Maribaya Desa Ancol, Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Jalur pipa Tempino-Plaju cukup strategis. Jalur pipa sepanjang 260 km
yang ditanam pada kedalaman 1,5-2 meter di bawah permukaan tanah tersebut
mengalirkan minyak mentah 24,000 barel per hari. Pipa tersebut mengalirkan minyak dari 9 sumber minyak (sumur/lapangan) menuju Kilang Pertamina Refinery Unit III Plaju. Pencurian minyak juga terjadi di pipa minyak dari Kilang Balongan,
Indramayu Jawa Barat ke Depo Plumpang Jakarta. Pipa berisi solar tersebut
dibor.
Rentetan
kasus pencurian minyak tersebut telah merugikan Pertamina dan negara Indonesia
sebagai pemilik Pertamina. Berapa
kerugian yang dialami Pertamina? Wow, angkanya sulit dipercaya. Menurut PT
Pertamina Gas (Pertagas), untuk jalur pipa Tempino-Plaju saja, kerugian yang
dialami Pertamina sejak 2010 hingga semester I, 2013 mencapai Rp 529 miliar
atau setengah triliun.
Disamping kerugian secara finansial, pencurian tersebut sangat
membahayakan warga masyarakat di sekitar jalur pipa, yakni risiko kebakaran dan
tumpahan minyak. Contoh nyata adalah kebakaran pada jalur pipa Tempino-Plaju
pada Oktober 2012. Pipa tersebut meledak dan terbakar. Tiga orang tercatat
tewas oleh kebakaran tersebut, yang semuanya diduga pencuri minyak. Peristiwa kebakaran pada pipa minyak Pertamina di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sebagai masyarakat awam kita bertanya MENGAPA terjadi? Dan kenapa terjadi
secara terus-menerus? Bila sebuah rumah
disatroni pencuri, si pemilik rumah pasti akan merasa kehilangan. Maka langkah
pengamanan pun pasti ditingkatkan. Dia mungkin akan melaporkan kasus tersebut
ke petugas keamanan linkungan sehingga sistem keamanan setempat. Si pemilik rumah mungkin meningkatkan pengamanan rumahnya untuk mencegah si pencuri
datang.
Sama halnya dengan pencurian minyak pada pipa Pertamina. Seharusnya,
langkah pengamanan dilakukan untuk mencegah pencurian tersebut. Apakah aparat
keamanan tidak cukup untuk mengamankan pencurian tersebut? Atau aparat keamanan dan orang dalam Pertamina membiarkan kasus pencurian tersebut terus
berlangsung?
Melihat
kejadian pencurian yang terus terjadi yang bernilai hingga Rp 500 miliar, sulit
dipercaya bila ini hanya pencurian biasa dan dilakukan oleh para pencuri
amatir. Yang tampak di permukaan adalah si pencuri terlihat “sangat
profesional” sehingga ia bisa dengan leluasa melakukan tindakan kriminalnya.
Minyak
yang dicuri tersebut bukan emas atau uang yang bisa diselipkan disaku baju atau
disimpan di dalam tas, tapi barang yang dicuri bervolume besar. Minyak tersebut
tidak disimpan tapi kembali dijual untuk mendapatkan untung. Artinya, ada
pembeli atau penampung minyak hasil curian. Seharusnya, aparat keamanan tidak
sulit untuk melacak kemana ratusan drum minyak tersebut dijual, kecuali matanya
sudah tertutup atau ditutup.
Pertamina
sendiri tampak mengaku kebingungan dengan aksi pencurian minyak mentah yang
“lebih terbuka” di jalur pipa minyak Tempino-Jambi, Sumatera Sealtan. Modus
pencarah makin ‘kreatif’ dan bahkan berani melawan aparat keamanan. Lho, apakah
pencuri punya ‘senjata’ yang lebih kuat sehingga berani melawan aparat? Atau
ada ‘backing’ yang terlibat dalam pencurian tersebut?
Disamping
pencurian minyak yang dilakukan terbuka, terkadang juga muncul berita-berita
penyelundupan minyak ke luar negeri. Ini terbukti dengan tertangkapnya beberapa
kapal penyelundup dalam beberapa tahun terakhir di kawasan Riau atau Batam. Ini
baru yang ketahuan. Bagaimana dengan pencurian dan penyelundupan yang tidak
ketahuan? Boleh jadi nilainya melebihi pencurian atau penyelundupan yang
ketahuan. Ujung-ujungnya, negara rugi, rakyat cuma kebagian mencium bau
minyaknya saja.
Pencurian minyak tidak saja terjadi dengan kasat mata, tapi juga yang tidak terlihat, misalnya, pada kasus impor minyak. Beberapa media nasional, seperti Tempo, telah melaporkan praktik mark-up yang dilakukan oleh mafia-mafia minyak impor kita.
Tentu
banyak permasalahan pada industri minyak kita dan gas kita. Banyak tikus-tikus,
termasuk juga tikus-tikus berdasi, terus menggerogoti industri ini. Perlu
tindakan tegas dan keras dari pemerintah untuk membasmi “hama tikus” ini pada
industri minyak dan gas kita. Kita tidak berharap pemerintah dan aparat
pemerintah terus memelihara “tikus-tikus” itu dari bumi pertiwi. Kita juga
tidak berharap suatu saat kelak, populasi tikus melebih jumlah manusia,
sehingga para ‘tikus’ merebut kursi pemerintahan. Kita tidak ingin negara ini
kemudian dijuluki menjadi “Republik Tikus Indonesia” atau RtI.
Terlepas dari kasus-kasus pencurian tersebut, minyak tetaplah minyak. Produk minyak dan gas sangat dibutuhkan oleh negara ini. Minyak dan gas hingga saat ini masih tetap menjadi sumber energi utama untuk menggerakan ekonomi. Bila gas berkurang maka pusat-pusat industri-industri di Jawa Timur dan Jawa Barat berteriak meminta alokasi gas alam dari pemerintah.
Oleh karena itu, kita berharap pemerintah terus mendorong investasi minyak dan gas agar semakin banyak sumber minyak dan gas baru ditemukan dan juga dikembangkan. Saat ekonomi dunia dan negara terguncang saat ini, seperti yang terlihat dari melemahnya rupiah dan membengkaknya defisit neraca perdagangan akibat melemahnya impor, ancaman kelesuan ekonomi yang dapat menurunkan penerimaan pajak pemerintah, maka investasi migas diharapkan terus didorong dan meningkat.
Rencana investasi Inpex untuk mengembangkan Blok Masela, BP untuk mengembangkan train 3 projek BP Tangguh di Papua, maupun rencana Total E&P Indonesie (yang bermitra dengan Inpex) menggelontorkan US$7,3 miliar untuk pengembangan lanjutan Blok Mahakam pasca 2017, patut kita apresiasi, tentu dengan catatan hak pengelolaan blok tersebut diperpanjang.
(*)