Sabtu, 28 Juni 2014

Harga Tarif Dasar Listrik Indonesia Naik Lagi

Setelah awalnya pemerintah merencanakan untuk menaikkan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) pada Januari 2015, akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan TDL pada tanggal 1 Juli 2014 mendatang. Hal ini menuai pro dan kontra di berbagai kalangan karena berdampak pada sejumlah golongan, baik pemerintah, rumah tangga, maupun industri. "Kalau kenaikan tiba-tiba ya PLN Harus siap-siap saja dikritik oleh pakar-pakar atau pengusaha di luar sana," mengutip Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo.

Sasmito juga menambahkan bahwa kenaikan listrik tentu juga berdampak langsung pada inflasi. Jika suatu komoditas memberi andil hingga 0,15 persen dalam satu hingga tiga bulan, pemerintah perlu intervensi. Oleh sebab dampaknya bisa ke pertumbuhan ekonomi, uang beredar, anggaran negara, dan tingkat kemiskinan.

Kepala Divisi Niaga PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Benny Marbun mengatakan bahwa pertumbuhan konsumsi listrik pada Januari-April 2014 melambat karena perlambatan di golongan industri. Benny berujar jika pada tahun sebelumnya konsumsi listrik di segmen pelanggan industri naik 9 persen, hingga April 2014 pertumbuhan hanya berkisar 5 persen. "Konsumsi industri hanya tumbuh sekitar 5 persen karena pasar produknya memang melemah. Industri akan menyiasati kenaikan tarif listrik, misalnya menggunakan peralatan yang lebih efisien, tetapi bukan mengurangi kegiatan produksi,” ujar Benny.

Kenaikan listrik rencananya diterapkan untuk golongan rumah tangga berdaya 1300, 2200, 3500, dan 5000 VA. Golongan tersebut masing-masing akan dikenai kenaikan rata-rata sebesar 11,36 persen, 10,43 persen, dan 5,7 persen setiap dua bulan. Selain itu, bagi industri I-3 non-go-public sebesar rata-rata 11,57 persen setiap dua bulan. Penghematan dari golongan ini diestimasi mencapai Rp 4,78 triliun. Sedangkan tarif listrik kantor pemerintahan (P-2) dengan daya di atas 200 kVA dinaikkan bertahap rata-rata 5,36 persen setiap dua bulan. Penghematan dari golongan ini diestimasi mencapai Rp 100 miliar.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jarman mengatakan bahwa pemerintah menurunkan target pertumbuhan konsumsi listrik tahun 2014 dari 9 persen menjadi 7 persen. "Target pertumbuhan 7 persen tahun 2014 didasarkan pada realisasi pertumbuhan listrik 2013 sebesar 6,93 persen serta realisasi pertumbuhan listrik dari Januari hingga April 2014 sebesar 6,72 persen," ujar Jarman.

Sejauh manakah kenaikan tarif listrik sebesar 12 persen ini akan mempengaruhi dunia industri? Jangan sampai para investor lari dari Indonesia karena biaya mengoperasikan pabrik makin mahal. Semoga saja hal ini tidak akan berdampak signifikan terhadap iklim investasi.

Rabu, 11 Juni 2014

Prabowo Salahkan Gaji Rendah Sebagai Penyebab Korupsi di Indonesia, Benarkah?


Sesi pertama debat Calon Presiden-Calon Wail Presiden (Capres dan Cawapres) Senin malam membahas tiga tema utama, pembangunan demokrasi, reformasi birokrasi dan pembangunan hukum. Ketiga-tiganya penting. Kedua pasangan Capres-Cawapres telah memaparkan visi dan misi mereka terkait ketiga hal tersebut. Reaksi masyarakat pun bermacam-macam, namun secara umum perdebatan pertama tampaknya Joko Widodo lebih unggul dibanding pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dari berbagai aspek, baik dari aspek penguasaan panggung, penguasaan materi, relasi dengan penonton (komunikatif) maupun dari segi konten.

Sesi debat Calon Presiden-Calon Wail Presiden Senin malam lalu memancing diskusi dan perdebatan di publik, baik di media-media arus utama maupun di media-media sosial. Salah satu masalah yang dibahas adalah masalah korupsi. Yang menarik perhatian publik, pandangan dan pernyataan kontroversial Capres Prabowo Subianto terkait kasus korupsi yang mewabah di tanah air dan cara mengatasinya.

Menurut Prabowo Subianto, masalah korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kurangnya apresiasi terhadap pejabat atau aparatur negara negara. Dia mengakui masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah korupsi, kinerja pemerintah yang tidak maksimal, dan rasa keadilan bagi kaum yang berkecukupan.

Untuk mengatasi korupsi, maka pertama yang dilakukan adalah mengurangi kebocoran-kebocoran. Dengan mengurangi kebocoran, maka pemerintah punya dana yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup aparatur negara.

Berikut cuplikan pernyataan Prabowo Subianto terkait penanganan masalah korupsi:

“Memang kita rasakan, inilah kelemahan bangsa kita sekarang. Korupsi, kinerja pemerintah yang kurang maksimal dan keadilan hanya bagi yang kuat dan kaya. Bagi kami, ini suatu akibat dari kebocoran-kebocoran kekayaan nasional yang besar. Dengan kobocoran-kebocoran yang besar yang diakibatkan oleh masalah sistemik, akhirnya tidak ada sumber daya yang cukup untuk menjamin kualitas hidup aparat negara yang menjamin jalannya pemerintahan. Artinya, korupsi terjadi di Indonesia karena pejabat-pejabat yang berkuasa di Indonesia, takut, takut pensiun. Umpanya gaji 6-7 juta rupiah, padahal saat kampanye, misalnya, dia habiskan Rp 15 miliar. Akibatnya, dia akan ambil dari APBN. Menteri juga begitu. Gajinya Rp 18 juta, padahal tanggungjawabnya besar. Karena kualitas hidup, sistem demokrasi kita yang liberal mewajibkan pemimpin politik untuk cari uang untuk melakukan kampanye politik. Sehingga dia andalkan kader di DPR dan di Kementerian.

Itulah maka elit, pemerintah lengah, sumber daya alam terlalu banyak mengalir ke luar negeri. Nah, kalau mau perbaiki atau kurangi korupsi, kita harus menjamin kualitas hidup aparatur negara. Hakim, polisi, jaksa, semua penegak hukum, semua pejabat di tempat-tempat penting harus dijamin kualitas hidupnya. Sebagai contoh hakim agung di inggris, gaji terbesar, lebih besar daripada PM. Kita mau perbaiki. Kami ingin pertama menutup kebocoran. Kita kalau bicara ingin memperbaiki ini, itu, ujung-ujungnya urusan duit. Karena itu, penegak-penegak hukum harus ditingkatkan kemampuan manajerial dan teknisnya. Ini semua butuh dana besar.

Kemudian rekruitmen. Kita rekrut orang terbaik, menggunakan teknologi informasi terbaru, seperti e-government,  dan lain-lain, untuk mengurangi kebocoran-kebocoran. Sebanyak mungkin kita menggunakan teknologi informatika untuk mengurangi kebocoran-kebocoran itu. Dengan mengurangi kebocoran-kebocoran itu, kita punya dana untuk memperbaiki kualitas hidup, baru kit abisa ciptakan pemerintah bersih, bebas dari korupsi, yang brkinerja tinggi, yang melindungi dan melayani rakyatknya.”


Gaji Bukan Penyebab

Pernyataan Prabowo memancing reaksi masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah gaji yang kurang menjadi faktor utama terjadinya korupsi? Benarkah sistem demokrasi yang mahal, yang membuat para politisi keluarkan dana besar untuk kampanye untuk mendapatkan posisi sebagai pejabat publik seperti Bupati, Gubernur, DPR dan pejabat-pejabat lain? Secara tidak langsung Prabowo juga menyinggung seorang Presiden mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan posisi sebagai Presiden, seperti yang dia jalankan saat ini.

Mungkin pertanyaan tersebut diajukan kepada para aparatur negara, baik yang jujur, bersih dan menjalankan tugas dan amanahnya sebagai pelayan rakyat maupun mereka yang terlibat kasus korupsi. Bila kita menanyakan ke aparatur negara yang jujur dan bersih, mereka akan mengatakan tidak setuju. Tidak adil juga bila kita langsung menganggap pegawai yang bergaji rendah akan korupsi. Stigma seperti tepat.

Bila kita menanyakan pertanyaan yang sama kepada para aparatur negara yang korup, yang terlibat kasus korupsi, kita mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti. Yang jelas, justru pejabat yang bergaji tinggi dan punya posisi penting, yang terlibat korupsi. Lihat saja, Akil Mochtar, Ketua MK, yang kini ditahan KPK, mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, mantan Menpora Andi Malarangeng, mantan menteri Agama Surya Dharma Ali yang kini jadi tersangka kasus korupsi di Kementerian Agama, dan masih banyak lagi. Hampir pasti, gaji yang rendah menjadi faktor utama mereka korupsi, karena mereka mendapatkan gaji besar dan fasilitas negara yang jauh lebih tinggi dibanding aparat negara biasa lainnya.

Dengan demikian, pernyataan Capres Prabowo Subianto dengan menyalahkan gaji rendah sebagai penyebab korupsi terbantahkan dan hanya menyederhanakan persoalan. Seseorang menjadi aparatur negara karena dia tahu dia akan mendapatkan kompensasi yang teratur setiap bulan hingga pensiun. Dia tahu hak, kewajiban dan konsekuensi menjadi pelayan masyarakat. Bila ingin menjadi kaya dengan cara korupsi, pilihlah profesi lain, misalnya menjadi pengusaha. (*)

Senin, 02 Juni 2014

Mendongkrak Produksi Migas, Prioritas Utama Pemerintah Indonesia Mendatang



Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berkuasa selama 10 tahun akan meninggalkan pekerjaan rumah yang banyak dan besar untuk pemerintah mendatang, siapapun pemenang dalam Pemilihan Presiden pada tanggal 9 Juli nanti. Salah satunya adalah memenuhi kebutuhan energi bagi penduduk yang berjumlah 240 juta jiwa ini. Pemenuhan kebutuhan akan energi tersebut kini terancam. Dengan kata lain, keamanan energi (energy security) Indonesia kini terancam. Karena itu, pemerintah baru perlu membuat kebijakan energi yang komprehensif atau lengkap serta peta jalan yang jelas bagaimana mencapai sasaran pemenuhan kebutuhan energi tersebut.

Baru-baru ini Hashim Djojohadikusumo, adik calon Presiden Prabowo Subianto menjanjikan akan memberikan Blok Mahakam ke Pertamina saat kontraknya berakhir 2017. Namun, keputusan operatorship sebuah blok tidak sederhana itu. Banyak aspek yang perlu diperhatikan. Pengelolaan dan pengembangan sebuah blok perlu dilihat dari perspektif industri minyak dan gas bumi nasional. Dalam konteks itu, kita perlu melihat apa yang menjadi kebutuhan dan persoalan utama Indonesia saat ini. Persoalan utama adalah pemenuhan kebutuhan energi nasional. Seperti yang kita ketahui saat ini Indonesia bergantung pada impor minyak, sementara produksi minyak dalam negeri menurun.

Namun, pemenuhan kebutuhan energi itu kini terancam dan bila tidak ada terobosan, maka ekonomi Indonesia bakal terguncang setiap kali ada gejolak perekomian internasional atau gejolak harga minyak. Gejala dan persoalannya sebetulnya sudah kasat mata berada di depan mata. Pertama, produksi minyak Indonesia terus turun, sementara produksi gas stagnan. Saat ini (2014) produksi minyak hanya berkisar 800,000 bph, menurun dari 1,5 juta bph thn 1995. Tahun 2011 lalu produksi minyak Indonesia masih di atas 900,000 bph.

Kedua, cadangan minyak tidak bertambah, sekitar 3,7 milyar barel atau cukup untuk 12 tahun, bila tidak ada penambahan cadangan. Cadangan gas bumi masih cukup untuk beberapa dekade, tapi akan habis juga bila tidak ada penambahan cadangan. Karena itu, perlu upaya dan terobosan agar cadangan migas meningkat lagi. Ini harus menjadi perhatian pemerintah baru nanti. Pertanyaannya, apakah masalah mencari cadangan migas (eksplorasi) migas bisa diambil alih dan menjadi tanggungjawab Pertamina? Bila pertanyaan ini kita ajukan ke Pertamina, Pertamina pasti akan menjawab tidak bisa. Apalagi saat ini sebagian besar potensi cadangan migas Indonesia berada di lepas pantai, laut dalam atau daerah-daerah frontier. Itu berarti biaya dan risiko eksplorasi makin besar. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia perlu mengundang dan melibatkan investor migas dunia untuk aktif melakukan eksplorasi.

Bagaimana langkah pemerintah baru nanti mengundang investor? Salah satu upaya adalah menciptakan iklim investasi yang bagus, dengan menghapus atau menyederhanakan sistem birokrasi, mempermudah proses perizinan, dll. Pada saat yang sama pemerintah meningkatkan kapasitas nasional dan perusahaan nasional. Kita tidak bisa mengusir perusahaan migas asing untuk meningkatkan kapasitas nasional. Dengan kata lain, meningkatkan kapasitas perusahaan nasional dapat dilakukan dengan menciptakan iklim yang sehat, menciptakan level playing field, memberikan insentif, dll, tidak harus dengan menasionalisasi aset migas asing yang ada di Indonesia. Langkah pengambilan paksa, hanya akan mengirim sinyal bahwa Indonesia tidak ramah terhadap investasi asing.

Dalam konteks ini kita perlu menyimak dan mendalami lebih jauh langkah politisi Gerindra Hashim Djojohadikusumo dengan menjanjikan blok Mahakam akan diberikan ke Pertamina. Sebagai politisi, sah-sah saja memberikan janji politik, tapi tidak menjamin janji akan ditepati. Lagi pula, memberi janji bisa juga dimotivasi oleh keinginan tertentu. Seorang pembaca dalam komentarnya di media online mengatakan, “Biasanya kalau sudah panik, sudah mulai membuat janji-janji surga untuk mendapat dukungan.”

“Sudah kebaca maunya, janji Blok Mahakam diserahkan ke Pertamina biar dapat dana (kampanye) dari Pertamina. Tak usahlah mengelus-elus Pertamina. Biar perusahaan ini mandiri, jangan dikasih beban politik. Tanpa diberi Blok Mahakam pun Pertamina akan menjadi perusahaan besar asal jangan dijadikan sapi perah. Biarkan Blok Mahakam dikelola oleh pihak-pihak yang berkompeten dan berproduksi optimal sehingga bisa menyumbang ke negara lebih  banyak,” ujar pembaca tersebut.

Banyak tanggapan sinis pembaca, menyikapi pernyataan politisi Gerindra tersebut, yang juga adik dari calon presiden Prabowo Subianto.

Masalah lain yang kita hadapi adalah soal subsidi BBM yang besar. Setiap tahun pemerintah memberikan subsidi BBM sekitar Rp300 triliun. Ini juga diakibatkan oleh produksi migas yang menurun sehingga Indonesia terpaksa mengimpor minyak yang harganya tinggi.

Kita berharap presiden atau pemerintah mendatang dapat fokus pada isu-isu yang penting, terutama mengatasi pemenuhan kebutuhan energi, bukan fokus pada isu-isu sempit misalnya apakah suatu blok (Blok Mahakam misalnya) diberikan ke perusahaan A, atau B. Kita butuh kebijakan energi yang menyeluruh dan terintgrasi. (*)