Senin, 30 Desember 2013

Kendala Teknis & Non Teknis Hambat Kinerja Industri Hulu Migas Indonesia Selama 2013



Tantangan terbesar pemerintah Indonesia pada 2014 adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif, menghilangkan faktor ketidakpastian (hukum dan politik), termasuk ketidakpastian kontrak blok migas yang segera berakhir, meningkatkan investasi eksplorasi dan produksi serta menciptakan peraturan yang mendukung eksplorasi (seperti insentif fiskal) agar investor terdorong untuk berinvestasi. 

 * * *
Sebuah anjungan minyak & gas laut dalam
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang sebelumnya bernama BPMIGAS, memberikan keterangan pers terkait kinerja industri hulu minyak dan gas bumi (migas) selama 2013. Ada beberapa poin penting yang disampaikan oleh Plt. Kepala SKK Migas J. Widjonarko antara lain realisasi investasi, produksi/lifting minyak dan gas bumi, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dan kegiatan seismic. Pesan yang muncul dari laporan akhir tahun ini adalah bahwa ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pada tahun 2014 nanti.

Yang jelas, industri minyak dan gas bumi mengalami tantangan berat selama tahun 2013, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Tantangan yang bersifat non-teknis, misalnya, kasus gratifikasi yang menghebohkan pada Agustus lalu yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini (RR). RR, saat ini sedang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk proses investigasi lebih lanjut dan menanti sidang yang rencananya dimulai Januari 2014.

RR ditahan karena kedapatan menerima sejumlah uang dari sebuah perusahaan trader minyak dan gas bumi Kernel Oil yang berbasis di Singapura. KPK mengklaim dana yang berjumlah ratusan dolar AS tersebut diduga untuk memuluskan proses tender penjualan minyak yang menjadi hak negara. Tidak hanya Rudi, beberapa pihak lain juga saat ini sudah ditahan, dan kemungkinan masih ada lagi yang ditahan dan diproses di pengadilan terkait kasus gratifikasi tersebut. Kasus ini paling tidak telah menyita emosi dan energi pekerja SKK Migas.

Selain masalah non-teknis, cukup banyak masalah teknis yang menghambat kinerja industri hulu migas tahun 2013. Diantaranya, kendala subsurface, penyerapan pembelian gas bumi oleh buyer yang lebih rendah dari komitmen, masalah keterlambatan pembangunan fasilitas produksi termasuk fasilitas produksi Blok Cepu, masalah gangguan pada fasilitas produksi migas yang berujung pada temporary shut-down, dan sebagainya. Semua ini menghambat pencapaian tingkat produksi minyak dan gas yang telah ditargetkan serta penerimaan negara.
Menurut SKK Miga,s penerimaan negara dari industri hulu migas tahun 2013 mencapai US$31,315 miliar, sedikit di bawah target APBN-P sebesar US$31,7 miliar.

Lifting minyak yang ditargetkan sebesar 840.000 barel per hari dalam APBN hasil revisi (APBN-P) 2013, hanya mencapai 826.000 bph (atau 99% dari target), sementara lifting gas bumi mencapai 6.981 juta British themral unit per hari (MMBTUD), atau 97% dari target 7.175 MMBUTD.

Kepala SKK Migas mengakui ada kendala sub-surface yang menyebabkan menurunnya potensi produksi minyak di luar perkiraan sekitar 35,000 bopd. Penurunan ini terjadi akibat penurunan alamiah produksi pada lapangan-lapangan migas yang tua, yang mencapai rata-rata 4,1 persen, terutama pada Blok Rokan dan Blok Mahakam, yang mencatat declining rate melebihi 5 persen selama 2013.

Penurunan produksi alamiah pada Blok Mahakam tidak mengherankan karena blok migas yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesie itu, dan bermitra dengan Inpex Corp, telah berproduksi selama 40 tahun lebih. Blok tersebut tergolong blok tua (matured ), sehingga dibutuhkan investasi besar dan teknologi terbaru untuk mencegah penurunan produksi alamiah. Setiap tahun, operator berinvetasi besar-besaran untuk mencegah penurunan alamiah tersebut.  Untuk itu, operator Blok Mahakam, telah menyatakan komitmen investasinya sebesar uS$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan, sebagai upaya untuk mencegah penurunan alamiah blok migas tersebut.

Blok Mahakam, walaupun sudah uzur, masih dianggap sebagai blok yang strategis karena menyuplai sekitar 80 persen pasokan gas ke fasilitas produksi LNG di Bontang, Kalimantan Timur. Dari situ, LNG dikirim keluar negeri dan menyumbang devisa bagi negara, sementara sebagian dipasok ke pasar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan perusahaan listrik negara PLN serta industri.

Faktor penghambat lain adalah penyerapan gas oleh pembeli yang lebih rendah dari komitmen. Selama 2013, terdapat 15 pembeli gas bumi membeli gas di bawah komitmen karena adanya kendala fasilitas dan jaringan. Akibatnya, terjadi kehilangan potensi produksi sebesar sekitar 420 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD) atau 75.000 barel ekuivalen minyak per hari (BOEPD).

Perusahaan-perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memang berupaya untuk mengoptimalkan produksi melalui penambahan pengeboran, work over dan well-service, sehingga menambah produksi sebesar 93.000 bopd, namun tidak cukup mengkompensasi (off-set) penurunan produksi di blok migas lainnya. 

Realisasi rencana pengeboran eksploitasi dibawah target yakni 980 sumur pengembangan, 
779 sumur workover, dibandingkan dengan target sebanyak 1.107 sumur pengembangan dan 953 sumur work-over. Sementara realisasi pengeboran sumur eksplorasi hanya mencapai 91 sumur, dari target 121 sumur, akibat berbagai kendala seperti pembebasan lahan, proses pengadaan, jadwal rig, keterlambatan persiapan lokasi dan evaluasi subsurface.

Realiasi kegiatan seismic dua dimensi juga dibawah target yakni sepanjang 11.949 km untuk seismic 2D dari target 15.647 km, dan 14.177 km seismic 3D dari target 22.576 km. 

Total investasi hingga akhir tahun 2013 diperkirakan sekitar US$19,342 miliar atau naik sekitar 17% dari tahun lalu sebesar US$16,543. Jadi ada peningkatan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Namun, sebenarnya peningkatan ini masih tidak cukup dibanding dengan potensi peningkatan investasi. Investasi migas ini diharapkan mendapat perhatian serius dari pemerintah selama tahun politik 2014.

Lalu bagaimana kinerja industri migas 2014? Tentu akan semakin sulit mengingat pemerintah fokus pada agenda Pemilu untuk memilih anggota Legislatif dan Presiden-Wakil Presiden. Dikhawatirkan agenda politik akan berpengaruh pada keputusan-keputusan yang terkait sektor energi, misalnya soal perpanjangan blok-blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam 3-5 tahun mendatang, termasuk Blok Mahakam. 

Tantangan terbesar pemerintah di tahun 2014 adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif, menghilangkan faktor ketidakpastian (hukum dan politik), termasuk ketidakpastian kontrak blok migas yang segera berakhir, meningkatkan investasi eksplorasi dan produksi serta menciptakan peraturan yang mendukung eksplorasi (insentif fiskal) agar investor terdorong untuk berinvestasi. (*)

Minggu, 22 Desember 2013

Tantangan dan Peluang Eksplorasi Migas Indonesia 2014



Proses Instalasi Anjungan Migas lepas Pantai

Sektor energi khususnya minyak dan gas bumi merupakan bagian yang integral dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maka untuk mengetahui prospek ekonomi tahun 2014, maka mau tidak mau kita perlu melihat outlook sektor minyak dan gas bumi (Migas), tantangan dan peluang dengan melihat pengalaman tahun 2013. Pertanyaan pokok yang muncul adalah apa persoalan utama sektor minyak dan gas bumi dan bagaimana Indonesia mengatasi masalah-masalah tersebut?

Sebelum kita melangkah memasuki 2014, maka mari kita coba tengok ke belakang apa yang terjadi pada industri minyak dan gas bumi Indonesia sepanjang tahun ini? Apa saja pencapaian yang patut dilanjutkan? Apa saja pekerjaan rumah yang perlu dan harus diatasi? Apa saja yang menjadi concerned utama investor sehingga pemerintah tahu resep yang harus dikeluarkan agar industri migas dapat berkembang? Dan deretan pertanyaan lainnya.

Pertamina, mari kita lihat sisi peraturan dan landasan hukum yang menjadi pegangan para investor dan perusahaan migas dalam menjalan aktivitas bisnis mereka di Indonesia. Fakta yang tak terbantahkan bahwa bisnis minyak dan gas bumi menyangkut dana besar (high cost), teknologi tinggi, bersifat jangka panjang dan berisiko tinggi.

Kita ambil contoh kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. Kegiatan eksplorasi, apalagi yang dilepas pantai dan laut dalam bersifat high cost dan berisiko tinggi. Untuk mengebor satu sumur bisa mencapai ratusan miliar. Teknologi yang dibutuhkan pun tergolong advanced. Untuk laut dalam, biasanya menggunakan drillship atau rig khusus yang hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar atau tertentu dunia, seperti Transocean. Eksplorasi laut dalam tergolong berisiko tinggi, karena tingkat kemungkinan kegagalan sangat besar.

Pengalaman Indonesia dalam 10 tahun terakhir menunjukkan hasil eksplorasi tidak menggembirakan, baik eksplorasi di daratan maupun lepas pantai. Sejak penemuan cadangan minyak di Cepu, tidak ada lagi penemuan cadangan minyak besar. Penemuan atau discovery lebih banyak gas bumi, namun juga tidak signifikan. Penemuan cadangan migas lebih banyak terjadi dekade-dekade sebelumnhya.

Dalam 2 tahun terakhir kita mendapat laporan tidak menggembirakan yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan eksplorasi migas. Hanya segelintir saja yang menemukan cadangan seperti Genting Oil di Papua. Lebih banyak perusahaan gagal menemukan cadangan migas atau hanya menemukan sumur kering (dryhole). Perusahaan seperti Marathon Oil, Niko Resources asal Kanada merupakan beberapa contoh perusahaan yang gagal menemukan cadangan migas. Bila tidak menemukan cadangan migas, maka perusahaan tersebut mencatat kerugian, dan bila menemukan cadangan migas, maka biaya eksplorasi kemudian bisa diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.

Kita melihat tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan migas global (IOC) untuk eksplorasi yang terbuang begitu saja. Menurut catatan SKK Migas, tahun 2011 saja, sebesar US$800 juta investasi terbuang begitu saja karena perusahaan-perusahaan migas tidak menemukan cadangan yang substantial. Angka yang tidak beda jauh dicatat pada tahun berikutnya. Tahun ini pemerintah belum mengeluarkan angka resmi, namun diperkirakan kerugian eksplorasi berkisar di angka tersebut.

Karakter industri migas yang high cost, long horizon, high technologi dan high risks, juga terjadi pada fase produksi. Investasi untuk produksi menelan biaya yang sangat besar, bersifat jangka panjang, membutuhkan teknologi tinggi dan berisiko tinggi. Contoh, pengembangan blok Mahakam. Setiap tahun perusahaan migas asal Perancis Total E&P Indonesie berinvestasi sekitar US$2,5-US$3 miliar setiap tahun untuk mengembangkan Blok Mahkam. Dana tersebut digunakan untuk mempertahankan tingkat produksi minyak dan gas bumi, serta untuk mencari cadangan baru. Perusahaan tersebut bahkan berencana berinvestasi US$7,3 miliar dalam lima tahun kedepan untuk mengembangkan blok Mahakam, yang sudah tergolong uzur tersebut.

Pengembangan Blok Mahakam tidak bisa lagi dilakukan seperti biasa saja karena blok tersebut sudah over-exploited. Sudah sekitar 80 persen cadangan Blok Mahakam sudah berproduksi selama 40-an tahun. Mengangkat minyak dan gas bumi tidak bisa lagi dengan menggunakan teknologi biasa. Perlu pendekatan baru untuk mempertahankan produksi. Dan ini menuntut biaya yang besar, teknologi tinggi serta kemampuan mengatasi risiko.

Isu eksplorasi migas diperkirakan akan tetap menjadi isu besar tahun 2014 mendatang yang harus diatasi pemerintah. Eksplorasi migas kian menjadi penting mengingat produksi minyak Indonesia cenderung menurun. Bahkan dalam APBN 2014, produksi minyak ditetapkan Cuma 804.000 barel per hari. Produksi gas bumi masih stagnan. Karena itu diperlukan upaya lebih keras lagi untuk mendorong eksplorasi migas untuk meningkatkan cadangan migas.

Melihat karakter industri migas tadi – high cost, high technology, long-term dan high risks – maka Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri. Indonesia masih membutuhkan kehadiran perusahaan migas dunia atau international oil companies (IOC). Kehadiran mereka dibutuhkan baik untuk eksplorasi maupun pada fase produksi. Pada satu sisi, kemampuan perusahaan nasional, seperti Pertamina, Medco, Energi Mega Persada, Star Energy dan lain-lain, perlu terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka agar mampu menyerap risiko bisnis migas, baik pada fase eksplorasi maupun eksploitasi.

Karena itu, Indonesia perlu melakukan transfer teknologi terutama untuk mengembangkan proyek-proyek besar atau raksasa. Pada proyek Blok East Natuna, misalnya, Pertamina bergandengan dengan beberapa perusahaan migas global untuk mengembangkan blok tersebut. Inpex yang mengembangkan Blok Masela juga bermitra dengan Shell dan Energi Mega Persada. Tapi Energi Mega sudah menjual sahamnya, dan belum jelas siapa yang akan menggantikan perusahaan milik Bakrie tersebut sebagai mitra lokal Inpex-Shell. 

Demikian juga pada pengembangan Blok Mahakam, yang kontraknya berakhir 2014. Blok Mahakam mensuplai 80% kebutuhan gas fasilitas produksi LNG di Bontang, Kalimantan Timur. Pemerintah hingga saat ini belum membuat keputusan. Publik dan pelaku industri berharap bahwa produksi Blok Mahakam tetap berlanjut dan tidak terganggu dan bahkan bisa lebih dioptimalkan pasca 2017. Karena itu, tidak salah bila skema joint-operating atau kolaborasi operator lama (Total E&P) dan masuknya pemain baru patut dipertimbangkan pemerintah.

Indonesia masih bisa berharap industri migas dapat berkembang tahun 2017. Tapi itu dengan catatan faktor-faktor penghambat investasi seperti kerumitan perizinan, birokrasi, faktor ketidakpastian hukum dan kontrak migas, pajak eksplorasi (PBB), dll dapat diatasi dengan segera. Faktor ketidakpastian kontrak, misalnya, perlu segera dijawab pemerintah, terutama kontrak blok Mahakam. Investasi migas bersifat jangka panjang sehingga keputusan perpanjangan atau skema baru perlu dibuat jauh-jauh hari, antara 3-5 tahun sebelumnya. (*)

Minggu, 15 Desember 2013

Tantangan Eksplorasi Lepas Pantai di Indonesia vs Pajak Eksplorasi

Isu pajak eskplorasi ini hanya menambah faktor kesulitan dan ketidakpastian dunia migas di Indonesia. Padahal, masih ada faktor-faktor ketidakpastian lainnya yang perlu juga segera diatasi, misalnya perpanjangan blok-blok migas yang segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. Kemungkinan produksi blok Mahakam terus menurun jelang kontrak berakhir, karena perusahaan enggan melakukan investasi, karena return investasi baru akan terjadi setelah kontrak berakhir 2017 nanti. Publik berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan, mengingat investasi migas bersifat jangka panjang, tidak bisa direncanakan dan direalisasikan seperti membalikkan tangan.

***
 
Tantangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang melakukan eksplorasi di lepas pantai di Indonesia kian sulit. Salah satu masalah utama yang belakangan mencuat kembali adalah soal pajak bumi dan bangunan yang dikenakan pada kegiatan eksplorasi di lepas pantai, termasuk investasi pencarian minyak di laut dalam --di atas 500 meter. Pemerintah keukeuh menerapkan peraturan tersebut, sementara para pelaku industri migas mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan tersebut.

Pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Wilayah Kerja (WK) atau blok migas diimplementasikan saat industri migas nasional dalam situasi yang memprihatinkan. Produksi minyak dalam negeri terus menurun dalam dua dekade terakhir, mulai dari produksi puncak 1,6 juta tahun 1995 menjadi tinggal 830.000 barel per hari saat ini. Tingkat penurunan setiap tahun mencapai hingga 12 persen. SKK Migas, regulator dan pengawas industri migas, terus berusaha untuk menahan laju penurunan produksi minyak hingga 4 persen, namun hasilnya belum menggembirakan. 

Produksi gas bumi saat ini cenderung stagnan dan diperkirakan akan menurun dalam dekade mendatang bila saat ini tidak gencar melakukan eksplorasi atau tidak ada tambahan cadangan gas bumi. Pada satu sisi permintaan dan konsumsi dalam negeri terus meningkat, baik konsumsi bahan bakar minyak (BBM) maupun gas bumi. Akibatnya jurang antara produksi migas dan konsumsi terus melebar. Dampaknya, sangat terasa, terutama meningkatnya defisit neraca perdagangan (current deficit) Indonesia akibat meningkatnya impor minyak. Kondisi ini membuat rupiah tertekan, sehingga nilai rupiah kini melemah ke level Rp12,000 terhada dolar AS, dari sebelumnya Rp9,500-10,000 per dolar AS. 

Pada satu sisi, beberapa pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Chatib Basri dan pejabat-pejabat lainnya, mengakui impor minyak yang tinggi telah menekan rupiah dan membuat neraca perdagangan mengalami defisit. Untuk mengurangi defisit perdagangan dan mengurangi tekanan pada rupiah, maka tidak ada jalan lain mengurangi impor minyak, dan pada sisi yang lain meningkatkan produksi dalam negeri serta mendiversifikasi sumber energi. Meningkatkan produksi, rupanya masih menjadi wacana atau konsep di atas kertas, karena hal itu sulit dilakukan. Untuk meningkatkan produksi, cadangan minyak dan gas harus ditemukan. 

Karena itu, solusi paling mendasar dan mendesak saat ini adalah mendorong eksplorasi minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi, mustahil ditemukan cadangan migas baru. Tanpa ada penemuan cadangan baru, maka Indonesia terpaksa hanya memproduksi cadangan yang ada saat ini, yang notabene merupakan penemuan para pekerja migas beberapa dekade lalu. Untuk menjamin keberlanjutan produksi dan ketahanan energi masa depan, bagi generasi berikutnya, maka Indonesia—pemerintah, swasta dan seluruh pemangku kepentingan harus bersatu hati, satu pikiran dan kemudian menyatukan langkah untuk mendorong kemajuan industri migas, terutama mendorong kegiatan ekpslorasi.

Maka tatkala pemerintah keukeuh mengejakan pajak eksplorasi (PBB), menjadi kontradiksi dengan niat pemerintah untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Lain di mulut, lain di tindakan. Ada ketidaksinkronan antara keinginan dan kebijakan yang dikeluarkan. Contoh nyata, ya itu tadi, pajak eksplorasi. Padahal, bagi perusahaan migas, eksplorasi itu merupakan kegiatan investasi. Sebuah perjudian atau gamble karena belum tentu ditemukan cadangan minyak. Dan itu terbukti, tahun 2011, perusahaan eksplorasi migas mencatat kerugian sekitar US$800 juta karena tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Tahun 2012 lalu juga demikian. Tahun 2013, ini belasan perusahaan eksplorasi migas menemukan dryhole dan terpaksa mereka angkat kaki dan menyerahkan kembali blok migas atau WK migas tersebut ke pemerintah.

Perusahaan-perusahaan migas (Kontrak Kerjasama atau Production Sharing Contractor/PSC) telah melaporkan penemuan dryhole pada kegiatan eksplorasi mereka. Diantaranya, Statoil Karama, Talisman Sageri, Marathon Pasang Kayu, CNOOC Palung Aru, ExxonMobil dan ConocoPhillips. Belakangan, Niko Resources, perusahaan migas asal Kanada juga gagal menemukan cadangan migas di beberapa kegiatan pengeboran di lepas pantai dan laut dalam. 

Akibatnya, perusahaan tersebut menghentikan sementara program eksplorasi multi-years di beberapa blok. Padahal, perusahaan Kanada tersebut merupakan perusahaan migas yang paling agresif dalam lima tahun terakhir dan tercatat sebagai pemegang WK lautdalam terbanyak saat ini. Menurut website perusahaan , Niko Resources memiliki konsesi atau hak kepesertaan di 22 blok migas, dengan kepemilikan antara 20-100 persen.

Karena itu, dapat dipahami bila Indonesia Petroleum Association (IPA) mendesak pemerintah untuk mencabut penganaan pajak eksplorasi PBB) pada kegiatan eksplorasi migas. Direktur Eksekutif IPA Sammy Hamzah mengatakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menghambat eksplorasi migas. Alasannya, eksplorasi yang dilakukan belum tentu mendapatkan hasil, jadi dianggap tidak masuk akal jika sudah harus membayar pajak terlebih dahulu.

Kita berharap pemerintah mendengar permintaan pelaku industri migas. Dan, tentu permintaan tersebut juga untuk kepentingan nasional Indonesia, agar kegiatan eksplorasi migas kembali bangkit. Semua pihak – pelaku industri migas, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya, tentu berkepentingan industri migas nasional berkembang.

Isu pajak eskplorasi ini hanya menambah faktor kesulitan dan ketidakpastian dunia migas di Indonesia. Padahal, masih ada faktor-faktor ketidakpastian lainnya yang perlu juga segera diatasi, misalnya perpanjangan blok-blok migas yang segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. Kemungkinan produksi blok Mahakam terus menurun jelang kontrak berakhir, karena perusahaan enggan melakukan investasi, karena return investasi baru akan terjadi setelah kontrak berakhir 2017 nanti. Operator blok Mahakam telah meminta perpanjangan. Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan. Pemerintah telah mengindikasikan akan melibatkan operator lama dan kemungkinan mengakomodasi kepentingan pemain baru (Pertamina) di blok tersebut. Tentu, bila opsi joint-operating semacam ini diambil pemerintah, tentu akan berdampak positif bagi kelanjutan produksi blok Mahakam.  (*)

Minggu, 01 Desember 2013

Gugatan Forum BUMN Indonesia ke MK, Modus Baru Merampok Aset Negara?


Bila gugatan Forum BUMN dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka aset-aset strategis Badan Usaha Milik Negara Indonesia akan mudah jatuh ke tangan pihak-pihak tertentu yang punya akses dan dekat dengan pusat kekuasaaan. Tidak salah bila gugatan terhadap Undang-Undang Keuangan Negara ke MK hanya merupakan “modus operandi” untuk melegalkan pemindahan aset-aset penting dan strategis negara ke tangan-tangan tertentu.
 

=================================================

Gedung Pertamina, salah satu aset BUMN Pertamina
Perhatian publik saat ini mengarah ke berbagai kasus korupsi yang sedang di tangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti kasus bailout Bank Century, gratifikasi yang melibatkan mantan kepala SKK Migas dan kasus gedung olahraga Hambalang. Tapi satu potensi masalah baru yang dapat menyebabkan kerugian besar kepada negara, yakni gugatan yang dilayangkan Forum Hukum BUMN ke Mahkamah Konstitutsi untuk memisahkan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Keuangan Negara. Apa dampaknya bila gugatan tersebut dikabulkan MK? Seberapa jauh keterlibatan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam gugatan tersebut? Apakah gugatan tersebut merupakan modus baru untuk merampok aset negara? Apa latar belakang gugatan tersebut.

Munkgin masih ada pertanyaan lain yang muncul di benak publik saat ini terkait gugatan tersebut. Namun, yang jelas, persidangan perkara pengujian tentang keuangan negara tersebut sudah memasuki tahap akhir di Mahkamah Konstitusi. Dari resume perkara, beberapa pihak mensinyalir permintaan pemohon kemungkinan dikabulkan. Kondisi ini yang memancing protes, kritik dan kekhawatiran berbagai elemen masyarakat.
 

Selain Forum BUMN, beberapa pihak lain yang turut melakukan gugaan adalah Biro Hukum Kementerian BUMN dan The Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) dan Pusat Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia (PPMSUI).
 

Salah satu alasan mereka menggugat UU Keuangan Negara adalah terhambatnya gerak Badan Usaha Milik Negara dalam melakukan pengembangan usaha akibat berlakunya ketentuan dalam UU Keuangan Negara dan UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Negara.
Pada sidang dengan nomor perkara 62/PUU-XI/2013 yang dipimpin oleh hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi Juni lalu, Ketua Bidang Hukum Forkum BUMN, Binsar Jon Vic, menjelaskan bahwa pasal 2 huruf g dan huruf i dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal tersebut membingungkan BUMN dalam menentukan kebijakan kegiatan usaha mereka.
 

Pemohon juga mengajukan pengujian ketentuan audit BPK terhadap BUMN (yang diatur dalam pasal 6 ayat (1) pasal 9 ayat (1) huruf b, pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, serta pasal 11 huruf a, UU nomor 15 tahun 2006 tentang BPK). Ketentuan audit oleh BPK terhadap BUMN, kata Binsar, telah menimbulkan ketidakpastian hukum, karena selama ini pengelolaan keuangan BUMN juga diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, sehingga terjadi tumpang tindih. Pemohon meminta MK agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
 

Pertanyaannya: apakah benar ketentuan tersebut telah menghambat perkembangan BUMN? Dimata publik, berbagai praktik ketidakefisien, korupsi, budaya perusahaan BUMN yang buruk, lemahnya system pengawasan internal, kurangnya kreativitas dan inovasi dibanding perusahaan swasta dan seabrek alasan lain telah membuat sebagian besar BUMN bergerak ibarat siput, dan tertinggal?
 

Apa alasan mereka memisahkan aset BUMN dengan aset Keuangan Negara? Apakah benar tujuannya agar BUMN menyelesaikan aset bermasalah? Bukankah alasan ini diajukan sebagai kamuflasi dan alasan mengada-ada sehingga aset negara dengan mudah berpindah tangan ke pihak swasta? Bila aset BUMN dipisahkan dengan Keuangan Negara, maka aset-aset strategis akan begitu mudah berpindah tangan ke swasta tanpa terdeteksi oleh BPK. Hal ini yang membuat berang berbagai pihak yang peduli dengan kondisi keuangan negara.
 

Bila gugatan mereka dikabulkan oleh MK, maka aset-aset strategis BUMN akan mudah jatuh ke tangan pihak-pihak tertentu yang punya akses dan dekat dengan pusat kekuasaaan. Tidak salah bila gugatan terhadap Undang-Undang Keuangan Negara ke MK hanya merupakan “modus operandi” untuk melegalkan pemindahan aset-aset penting dan strategis negara ke tangan-tangan tertentu. Dan bukan tidak mungkin akan membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menggalang dana untuk mendanai biaya politik terkait Pemilihan Umum tahun 2014 nanti.
 

Saat ini, total aset BUMN mencapai Rp 3.500 triliun (US$292.6 miliar) dengan jumlah BUMN sebanyak 141 buah. Pengelolaan aset BUMN yang nilainya ribuan triliun rupiah tersebut bakal terpisah dari keuangan negara dan tak terdeteksi oleh badan audit negara.
 

Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara (KUAK) yang terdiri dari IBI, LIMA, ICW, TePI dan LSM lainnya amat mengkhawatirkan permohonan gugatan di MK tersebut. Jika aset-aset BUMN dipisahkan dari keuangan negara, pihak-pihak tertentu akan dengan mudah menjadikan BUMN sebagai sapi perah untuk dana politik pemilu 2014.

Sejauh mana keterlibatan Menteri BUMN Dahlan Iskan? Apakah Menteri Dahlan Iskan tidak tahu gugatan tersebut, pura-pura tidak tahu? Atau bahkan memberi restu? Mustahil Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak mengetahui gugatan tersebut. Mustahil pula bila Menteri Keuangan Chatib Basri tidak mengetahui upaya pelepasan aset-aset BUMN dari Keuangan Negara.
 

Padahal, mantan presiden Soeharto dulu membentuk Kementerian khusus untuk menangani BUMN untuk mengoptimalkan kinerja BUMN dan meningkatkan value aset-aset BUMN agar dapat memberi kontribusi lebih besar bagi keuangan negara.

"Apabila pemisahan aset BUMN dari keuangan negara dilakukan, tidak ubahnya membiarkan negara dirampok. Jangan-jangan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan merestui permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), sebab tidak ada upaya tegas untuk melawan gugatan yang berpotensi privatisasi BUMN," kata peneliti ICW Donal Fariz saat jumpa pers mewakili Koalisi untuk Akuntabilitas Keuangan Negara di Jakarta 17 November lalu. Pernyataan Donal Fariz juga mewakili suara masyarakat Indonesia yang khawatir aset negara hilang ke kelompok-kelompok tertentu. (*)