Senin, 11 November 2013

Mampukah Pemerintahan Yudhoyono Menghapus BBM Bersubsidi?



Isu penghapusan bahan bakar minyak (BBM) kembali menghangat setelah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto memberikan hasil rekomendasi pertemuan Kadin baru-baru ini di Palembang. Dari 9 butir hasil rekomendasi Kadin, satu diantaranya adalah merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghapus subsidi BBM. Alasannya, subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran.

Rekomendasi Kadin tersebut bukan tanpa alasan. Bila kita melihat, dalam beberapa tahun terakhir, subsidi BBM masih sangat tinggi, padahal dana subsidi tersebut lebih bermanfaat dipakai untuk membangun infrasture pedesaan, ketimbang dihabiskan untuk membakar dubsidi.

Untuk tahun 2012 dan 2013 saja, subsidi BBM mencapai Rp Rp 211,9 triliun dan Rp 199,9 triliun. Tahun 2014, subsidi bahan bakar minyak ditetapkan sedikit lebih rendah yakni Rp194,9 triliun. Namun, masih sangat tinggi. Bayangkan bila dana Rp194,9 triliun tersebut digunakan untuk membangun infrastructure.

Alasan berikutnya alokasi dana subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Masyarakat kelas menengah ke atas pun turut menikmati BBM bersubsidi ini. Seharusnya, para pemilik kendaraan pribadi dipaksa untuk membeli BBM non-subsidi. Kalau mereka punya dana untuk membeli kendaraan ratusan juta hingga miliaran rupiah, seharusnya juga berani untuk membeli BBM non-subsidi. Bila pemerintah mencabut BBM subsidi,  sebagian besar masyarakat kemungkinan mengurangi aktivitas berkendaraan mereka, dan beralih ke moda transportasi umum. Tentu ini juga harus didukung oleh perbaikan fasilitas transportasi publik.

Disamping itu, penyaluran dana subsidi BBM selama ini rawan penyalahgunaan. Ini terbukti dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BBM) baru-baru ini yang menemukan adanya dugaan mark-up atau manipulasi dana penyaluran subsidi atau public service obligation (PSO). Selama semester pertama tahun ini, BPK menenmukan 9 BUMN yang melakukan mark-up penyaluran dana subsidi hingga Rp9,03 triliun. Mark up terbesar ada pada BUMN listrik PT PLN. Berikut temuan dugaan penyalahgunaan penyaluran dana subsidi beberapa BUMN:
  1. PLN mencapai Rp 6,77 triliun
  2. PT Pertamina (Persero) senilai Rp 999,38 miliar
  3. Perum Bulog senilai Rp 707,66 miliar
  4. PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) senilai Rp 270,95 miliar
  5. PT Pupuk Kaltim (Persero) senilai Rp 51,67 miliar
  6. PT Pupuk Kujang (Persero) senilai Rp 25,33 miliar
  7. PT Petrokimia Gresik (Persero) senilai Rp 134,12 miliar
  8. PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) senilai Rp 16,37 miliar
  9. PT Pelni (Persero) sebesar Rp 48,05 miliar

Anggota BPK Ali Masykur Musa, seperti yang dikutip detik.com, menilai mark up penyaluran subsidi adalah tindakan tidak sehat yang dilakukan perusahaan pelat merah. Dana hasil mark up tersebut harus dikembalikan ke kas negara.

Mempertahankan subsidi BBM tampaknya telah membuat masyarakat umum dimanjakan oleh ‘fasilitas’ subsidi yang diberikan pemerintah ini. Masyarakat dininabobokan oleh pemerintah, sehingga pengurangan dana subsidi pun, yang diikuti oleh kenaikan tarif, masyarakat sontak berteriak.
Parahnya, pemerintah sendiri tampak tak punya peta yang jelas kapan subsidi BBM akan dihapus keseluruhan. Selama ini, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, selalu berarguman, bahwa penghapusan BBM bersubsidi sangat sulit. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah pengurangan dana subsidi BBM. Boleh jadi pemerintah tidak berani menghapus BBM bersubsidi karena ongkos politiknya terlalu mahal, apalagi jelang Pemilu 2014. Namun, ongkos dari ketidaktegasan pemerintah menghapus BBM juga mahal. Belanja pemerintah untuk pembangunan menjadi tidak signifikan karena sebagian dana dipakai untuk subsidi BBM. 

Melihat berbagai femonena diatas, saatnya pemerintah untuk mengambil keputusan tegas untuk menghapus BBM bersubsidi. Sebetulnya bukan cuma Kadin yang meminta pemerintah menghapus subsidi BBM.
Pada bulan Juli lalu, Komite Ekonomi Nasional pun telah mengusulkan agar subsdi BBM dihapus seluruhnya. Bila pemerintah memberikan subsidi, hendaknya dilakukan secara langsung kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan pemerintah.

Dipertahankannya subsdi BBM, juga berpengaruh pada mandeknya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Pengembangan EBT tidak berkembang karena masyarakat masih bergantung pada BBM bersubsidi. Harga BBM bersubsidi yang rendah membuat energi baru dan terbarukan menjadi tidak menarik. Padahal, subsidi yang diberikan pemerintah selama ini membuat stabilitas ekonomi yang semu. 

Lalu, kapan BBM bersubsidi dihapus? Tampaknya sulit kita mengharapkan pemerintahan SBY untuk menghapus BBM bersubsidi hingga 100%. Melihat karakter Presiden SBY yang terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan dan tidak berani mengambil risiko, sulit kita berharap bahwa subsidi BBM akan hilang di bawah era presiden SBY. 

Penghapusan BBM bersubsidi juga dapat memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa Indonesia tidak lagi menjadi negara eksportir minyak. Bila negara Arab Saudi atau Brunei, memberi subsidi BBM kepada masyarakat mungkin masuk akal, karena punya produksi minyak diatas kebutuhan nasional. Karena itu, wajar bila mereka memberikan subsidi bagi masyarkatnya. Indonesia memang aneh. Kita (Indonesia) mengimpor ratusan barel minyak tiap hari, lalu menyalurkan subsidi kepada masyarakat.

Dengan melihat karakter pemerintahan SBY dan kekhawatiran kegaduhan kondisi masyarkat jelang Pemilu 2014, bisa jadi akan membuat pemerintah sendiri untuk mempertahankan subsidi BBM. Kalaupun ada pengurangan, persentasi pengurangannya juga tidak signifikan. Harapannya, pemerintah segera mengambil sikap tegas untuk menghapus subsidi BBM. Menghapus subsidi memang bukan kebijakan populis, tapi kebijakan yang penuh berisiko. Seorang pemimpin yang bijak, adalah seorang yang berani membuat keputusan dan juga berani mengambil risiko tidak disukai publik, demi untuk kepentingan yang lebih besar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar