Soeharto & Ibnu Sutowo (kanan) |
Adiguna Sutowo, tiba-tiba saja nama itu menjadi perhatian media
dalam seminggu terakhir. Adiguna, putra sulung almarhum mantan petinggi perusahaan migas milik Indonesia Pertamina tahun 1970-an, Ibnu Sutowo. Persoalannya sepele. Seorang perempuan
dilaporkan menabrakan mobil mewah yang dikendarainya ke pintu rumah Adiguna
Sutowo, tidak hanya merusak pagar tapi beberapa mobil mewah dengan harga
miliaran. Putra bungsu Ibnu Sutowo ini memang beberapa kali menarik perhatian
publik. Tahun 2005, dia dituduh dan terbukti di pengadilan menembak dari jarak
dekat seorang pelayan bar di Hotel Sultan (dulu Hotel Hilton) Yohanes Brahman
Haerudin alias Rudi.
Adiguna kemudian dibebaskan karena keluarga korban menerima
permintaan maaf keluarga Adiguna Sutowo. Tersebar kabar miring saat itu,
keluarga Adiguna Sutowo menyerahkan sejumlah uang ke keluarga korban selain
meminta maaf ke keluarga korban. Kasus Adiguna Sutowo mengingat kembali nama
besar Ibnu Sutowo, seorang Letnan Jenderal yang dipercaya Soeharto di awal era
Orde Baru untuk memimpin Pertamina, perusahaan minyak dan gas bumi milik
negara. Alih-alih membawa Pertamina menjadi perusahaan raksasa, mengingat harga
minyak yang booming di awal tahun 1970-on, Sutowo malah mengantar Pertamina ke
arah kehancuran. Pertamina menderita utang hingga US$10 miliar lebih tahun
1975.
Salah satunya akibat korupsi yang meraja lela. Gaya hidup
petinggi-petinggi Pertamina saat itu yang berfoya-foya, berpesta di Eropa,
turut memperburuk kondisi Pertamina. Lembaga audit negara dan Kejaksaan Agung
pun tak berhasil membongkar isi perut Pertamina. Bahkan Soeharto pada suatu
titik berang dengan kepemimpinan Ibnu Sutowo sehingga akhirnya Ibnu Sutowo
terpental.
Anjungan Minyak Lepas Pantai |
Hal ini tidak terlepas dari fungsi Pertamina saat itu, yang
berperan sebagai pelaku usaha dan juga sebagai regulator. Dual fungsi tersebut
membuat Pertamina menjadi super-body. Dampaknya, perusahaan migas pelat merah
tersebut terlambat bergerak dan sulit berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan
migas asing. Belum lagi, aroma praktek-praktek KKN (korupsi dan nepotisme)
masih membayangi perusahaan pelat merah tersebut. Akibatnya, kinerja Pertamina
tidak optimal.
Karena itu, saat reformasi bergulir, para mahasiswa dan berbagai
elemen masyarakat menuntut reformasi di tubuh Pertamina serta pengelolaan
industri migas di Tanah Air. DPR hasil pemilu kemudian membuat Undang-Undang
Migas 2001, dengan tujuan untuk menata ulang industri migas di Tanah Air,
dengan tujuan agar dapat berperan lebih optimal bagi pembangunan ekonomi.
Fungsi dwi-fungsi Pertamina kemudian dipecah. Fungsi regulator dikembalikan ke
pemerintah dan Pertamina fokus menjalankan fungsi sebagai korporasi migas.
Mengembalikan fungsi Pertamina sebagai korporasi terbukti membawa
hasil cukup positif. Pertamina, perlahan bertransformasi menjadi sebuah
perusahaan raksasa migas nasional, walaupun masih tertinggal dari perusahaan-perusahaan
migas BUMN di negara-negara tetangga. Di bawah kepemimpinan Karen Agustiawan,
banyak juga kemajuan yang telah dicatat Pertamina. Salah satu yang dibanggakan
Pertamina adalah masuknya perusahaan pelat merah itu ke dalam daftar Fortune
500 global. Namun, demikian Pertamina masih memiliki PR besar. Dari sisi
teknologi, modal dan pengalaman masih perlu belajar dan meningkatkan
kapasitasnya. Untuk mengembangkan Blok East Natuna misalnya, Pertamina, tidak
bisa mengembangkan blok itu sendiri, tapi dikembangkan bersama mitra perusahaan
migas besar dunia, seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie dan PTTEP asal
Thailand. Petronas sudah mengundurkan diri.
Beberapa kemajuan dicatat misalnya mengembangkan blok West Madura
Offshore (WMO), sebuah blok lepas pantai maupun blok ONWJ (Offshore Northwest
Java). Untuk melangkah lebih jauh, Pertamina tak perlu segan-segan untuk
bermitra dengan produsen-produsen migas dunia seperti yang dilakukan di Blok
East Natuna. Sharing risk, bahkan sudah biasa dalam pengembangan blok Migas
raksasa. Untuk itu Pertamina perlu mengukur diri dan realitas dan melakukan
ekspansi usaha secara terukur. Jangan sampai nafsu gede tapi saat merealisasikan
sebuah proyek, malah melempen. Kondisi ini, tentu tidak kita inginkan. Bisnis
Migas adalah bisnis penuh risiko. Keberhasilan sebuah proyek tergantung sejauh
mana sebuah perusahaan migas mengelola risiko, sehingga produksi dapat
dioptimalkan.
Setiap blok migas tentu memiliki tingkat kesulitan masing-masing.
Blok Cepu tidak bisa disamakan dengan Blok East Natuna atau Blok Masela. Blok
ONWJ atau WMO yang saat ini dikelola oleh Pertamina jelas tidak bisa disamakan dengan,
misalnya, Blok Mahakam. Argumentasi Pertamina selama ini bahwa perusahaan
tersebut telah berhasil mengelola ONWJ dan WMO, tidak dapat dijadikan alasan
dan ukuran bahwa perusahaan pelat merah itu akan dapat langsung mengelola 100%
Blok Mahakam. Pemerintah juga tentu tidak bodoh dan menutup mata. Pasti
pemerintah juga akan melakukan evaluasi mendalam, mempelajari setiap risiko
agar dapat ditekan, sehingga Blok Mahakam dapat terus berproduksi secara
maksimal dan memberi kontribusi lebih besar kepada negara.
Karena itu, naif dan berisiko bila Pemerintah langsung menyerahkan
pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina. Bila pemerintah tidak ingin
mengambil risiko dan mempertahankan kontribusi blok tersebut bagi negara, maka
idealnya pengelolaan blok tersebut diperpanjang. Namun, bila pemerintah
memutuskan untuk melibatkan Pertamina untuk memiliki hak kepesertaan dalam Blok
Mahakam, maka opsi terbaik adalah joint-operation. Dan perlu ada masa transisi,
sebelum akhirnya Pemerintah yakin Pertamina dapat berfungsi sebagai operator. Tentu
sambil berharap bahwa Pertamina betul-betul mempraktekkan good governance. (*)