Kamis, 31 Oktober 2013

Keluarga Sutowo, Perusahaan Migas Indonesia Pertamina & Blok Mahakam



Soeharto & Ibnu Sutowo (kanan)
Adiguna Sutowo, tiba-tiba saja nama itu menjadi perhatian media dalam seminggu terakhir. Adiguna, putra sulung almarhum mantan petinggi perusahaan migas milik Indonesia Pertamina tahun 1970-an, Ibnu Sutowo. Persoalannya sepele. Seorang perempuan dilaporkan menabrakan mobil mewah yang dikendarainya ke pintu rumah Adiguna Sutowo, tidak hanya merusak pagar tapi beberapa mobil mewah dengan harga miliaran. Putra bungsu Ibnu Sutowo ini memang beberapa kali menarik perhatian publik. Tahun 2005, dia dituduh dan terbukti di pengadilan menembak dari jarak dekat seorang pelayan bar di Hotel Sultan (dulu Hotel Hilton) Yohanes Brahman Haerudin alias Rudi.

Adiguna kemudian dibebaskan karena keluarga korban menerima permintaan maaf keluarga Adiguna Sutowo. Tersebar kabar miring saat itu, keluarga Adiguna Sutowo menyerahkan sejumlah uang ke keluarga korban selain meminta maaf ke keluarga korban. Kasus Adiguna Sutowo mengingat kembali nama besar Ibnu Sutowo, seorang Letnan Jenderal yang dipercaya Soeharto di awal era Orde Baru untuk memimpin Pertamina, perusahaan minyak dan gas bumi milik negara. Alih-alih membawa Pertamina menjadi perusahaan raksasa, mengingat harga minyak yang booming di awal tahun 1970-on, Sutowo malah mengantar Pertamina ke arah kehancuran. Pertamina menderita utang hingga US$10 miliar lebih tahun 1975. 

Salah satunya akibat korupsi yang meraja lela. Gaya hidup petinggi-petinggi Pertamina saat itu yang berfoya-foya, berpesta di Eropa, turut memperburuk kondisi Pertamina. Lembaga audit negara dan Kejaksaan Agung pun tak berhasil membongkar isi perut Pertamina. Bahkan Soeharto pada suatu titik berang dengan kepemimpinan Ibnu Sutowo sehingga akhirnya Ibnu Sutowo terpental. 

Anjungan Minyak Lepas Pantai
Membangkitkan Pertamina setelah era Ibnu Sutowo juga tidak mudah. Praktek korupsi masih sulit dihapus. Good governance tidak dipraktekan dalam manajemen perusahaan. Pada era tahun 1980-an hingga awal era reformasi, sebetulnya Pertamina punya peluang besar untuk menjadi perusahaan migas raksasa. Namun, peluang itu tidak ditangkap. Blok-blok minyak dan gas cenderung diserahkan ke pihak ketiga, terutama perusahaan migas asing, dan Pertamina dan pemerintah saat itu cukup senang dengan menerima hasil saja. Tidak mau bersusah payah untuk mengeksplorasi lapangan migas maupun memproduksi. Banyak blok-blok migas besar diserahkan atau diperpanjang kontraknya.

Hal ini tidak terlepas dari fungsi Pertamina saat itu, yang berperan sebagai pelaku usaha dan juga sebagai regulator. Dual fungsi tersebut membuat Pertamina menjadi super-body. Dampaknya, perusahaan migas pelat merah tersebut terlambat bergerak dan sulit berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas asing. Belum lagi, aroma praktek-praktek KKN (korupsi dan nepotisme) masih membayangi perusahaan pelat merah tersebut. Akibatnya, kinerja Pertamina tidak optimal.

Karena itu, saat reformasi bergulir, para mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menuntut reformasi di tubuh Pertamina serta pengelolaan industri migas di Tanah Air. DPR hasil pemilu kemudian membuat Undang-Undang Migas 2001, dengan tujuan untuk menata ulang industri migas di Tanah Air, dengan tujuan agar dapat berperan lebih optimal bagi pembangunan ekonomi. Fungsi dwi-fungsi Pertamina kemudian dipecah. Fungsi regulator dikembalikan ke pemerintah dan Pertamina fokus menjalankan fungsi sebagai korporasi migas.

Mengembalikan fungsi Pertamina sebagai korporasi terbukti membawa hasil cukup positif. Pertamina, perlahan bertransformasi menjadi sebuah perusahaan raksasa migas nasional, walaupun masih tertinggal dari perusahaan-perusahaan migas BUMN di negara-negara tetangga. Di bawah kepemimpinan Karen Agustiawan, banyak juga kemajuan yang telah dicatat Pertamina. Salah satu yang dibanggakan Pertamina adalah masuknya perusahaan pelat merah itu ke dalam daftar Fortune 500 global. Namun, demikian Pertamina masih memiliki PR besar. Dari sisi teknologi, modal dan pengalaman masih perlu belajar dan meningkatkan kapasitasnya. Untuk mengembangkan Blok East Natuna misalnya, Pertamina, tidak bisa mengembangkan blok itu sendiri, tapi dikembangkan bersama mitra perusahaan migas besar dunia, seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie dan PTTEP asal Thailand. Petronas sudah mengundurkan diri.

Beberapa kemajuan dicatat misalnya mengembangkan blok West Madura Offshore (WMO), sebuah blok lepas pantai maupun blok ONWJ (Offshore Northwest Java). Untuk melangkah lebih jauh, Pertamina tak perlu segan-segan untuk bermitra dengan produsen-produsen migas dunia seperti yang dilakukan di Blok East Natuna. Sharing risk, bahkan sudah biasa dalam pengembangan blok Migas raksasa. Untuk itu Pertamina perlu mengukur diri dan realitas dan melakukan ekspansi usaha secara terukur. Jangan sampai nafsu gede tapi saat merealisasikan sebuah proyek, malah melempen. Kondisi ini, tentu tidak kita inginkan. Bisnis Migas adalah bisnis penuh risiko. Keberhasilan sebuah proyek tergantung sejauh mana sebuah perusahaan migas mengelola risiko, sehingga produksi dapat dioptimalkan. 

Setiap blok migas tentu memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Blok Cepu tidak bisa disamakan dengan Blok East Natuna atau Blok Masela. Blok ONWJ atau WMO yang saat ini dikelola oleh Pertamina jelas tidak bisa disamakan dengan, misalnya, Blok Mahakam. Argumentasi Pertamina selama ini bahwa perusahaan tersebut telah berhasil mengelola ONWJ dan WMO, tidak dapat dijadikan alasan dan ukuran bahwa perusahaan pelat merah itu akan dapat langsung mengelola 100% Blok Mahakam. Pemerintah juga tentu tidak bodoh dan menutup mata. Pasti pemerintah juga akan melakukan evaluasi mendalam, mempelajari setiap risiko agar dapat ditekan, sehingga Blok Mahakam dapat terus berproduksi secara maksimal dan memberi kontribusi lebih besar kepada negara.

Karena itu, naif dan berisiko bila Pemerintah langsung menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina. Bila pemerintah tidak ingin mengambil risiko dan mempertahankan kontribusi blok tersebut bagi negara, maka idealnya pengelolaan blok tersebut diperpanjang. Namun, bila pemerintah memutuskan untuk melibatkan Pertamina untuk memiliki hak kepesertaan dalam Blok Mahakam, maka opsi terbaik adalah joint-operation. Dan perlu ada masa transisi, sebelum akhirnya Pemerintah yakin Pertamina dapat berfungsi sebagai operator. Tentu sambil berharap bahwa Pertamina betul-betul mempraktekkan good governance. (*)

Kamis, 17 Oktober 2013

Pemadaman Listrik, Produksi Gas dan Blok Mahakam

Belakangan ini, beberapa wilayah di Jawa, Sumatera dan daerah-daerah lain di Indonesia mengalami pemadaman listrik. Pertanyaannya, apakah Indonesia sedang mengalami krisis listrik? Apakah pemadaman listrik tersebut mencerminkan masalah listrik yang lebih besar dimasa-masa mendatang? Lalau apa yang harus dilakukan oleh perusahaan listrik negara PLN dan pemerintah untuk mengantisipasi krisis listrik dimasa datang? Apa akibatnya bila pemadaman listrik terus menghantui perekonomian nasional?

Apa tanggapan PLN terhadap pemadaman listrik ini? Pemadaman listrik yang terjadi di beberapa daerah belakangan terjadi dengan alasan berbeda-beda tiap daerah, demikian kata PLN. Ada daerah yang listriknya padam karena jaringan rusak. Ada yang karena trafonya rusak. Tapi ada juga wilayah yang mengalami pemadaman karena suplai listrik memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akibat terlambatnya penyelesaian proyek pembangkit listrik.

Nur Pamudji, direktur utama PLN, mengakui beberapa aerah dalam beberapa hari terakhir mengalami pemadaman, namun alasannya tidak sama. Di Sumatera, memang terjadi defisit listrik. Pasokan tidak mencukupi permintaan. Untuk itu, PLN akan mendatangkan genset ke Sumatera Utara dengan total kapasitas 150 megawatt (MW. Defisit listrik seharusnya tidak terjadi bila proyek pembangkit listrik selesai sesuai rencana. Masalahnya, ada beberapa proyek pembangkit listrik yang terlambat sehingga terjadi defisit listrik di wilayah Sumatera.

Pemadaman listrik tampaknya masih akan dialami di beberapa wilayah Sumatera hingga akhir tahun mengingat suplai gas bumi dari lapangan migas Grissik yang dikelola ConocoPhillips akan melakukan shutdown dalam 1-2 bulan kedepan untuk pemeliharaan (maintenance).

Disamping keterlambatan beberapa proyek pembangkit listrik, permintaan listrik di Sumatera tergolong lebih tinggi yakni 15% per tahun dibanding wilayah lain di Indonesia. Sementara, konsumsi listrik yang ditargetkan PLN hanya 9% per tahun.

Ada beberapa pembangkit yang terganggu akibat kekurangan pasokan gas. PLN memang sedang mengurangi konsumsi BBM (bahan bakar minyak) dan menggantikannya dengan gas bumi atau batubara. Namun, pembangkit listrik yang telah mengkonsumsi gas bumi belum signifikan akibat kekurangan pasokan gas bumi. 


Disamping itu, terkadang lokasi pembangkit listrik jauh dari sumber gas sehingga sulit untuk mengalirkan atau mentransportasikan sumber gas ke pembangkit PLN.Gas bumi memang berbeda dengan minyak bumi. Bila PLN membutuhkan minyak bumi, maka tinggal mencarinya dipasar atau mengimpor. Sementara untuk mendapatkan gas bumi, perlu kontrak jangka panjang. Biasanya, kontrak ditanda-tangani dulu, barulah proyek lapangan gas dikembangkan. Alasannya, gas cepat menguap dan begitu berproduksi harus langsung dikirimkan ke konsumen atau pembeli, tidak bisa disimpan terlalu lama di storage tank seperti minyak bumi. Selain biayanya mahal, juga tidak efisien.

Contoh gas bumi yang diproduksi oleh BPTangguh. Pengembang proyek BP Tangguh menandatangani kontrak dengan pembeli gas sebelum proyek tersebut dikembangkan. Demikian juga dengan Blok Mahakam. Gas bumi (LNG) dari blok tersebut sudah ada pembeli jangka panjang, termasuk perusahaan-perusahaan Jepang. Namun, kita bersyukur bahwa pemerintah berhasil melakukan renegosiasi untuk mengalokasikan sebagian output dari Gas Bontang, yang sebagian besarnya dari Blok Mahakam, untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik PLN di Jawa Barat. Gas bumi yang telah diubah ke bentuk liquid dikirimkan dari Bontang ke FSRU (floating storage and regasification unit) di lepas pantai utara Jawa. LNG dari FSRU itu kemudian diubah kembali menjadi gas, dan disalurkan ke pembangkit listrik PLN di Jakarta utara.

Saat ini, produksi gas bumi Indonesia yang terbesar masih datang dari Blok Mahakam. Sekitar 30% produksi gas bumi dihasilkan oleh blok Mahakam yang sudah memasuki usia uzur itu. Kedepan, memang ada beberapa proyek gas bumi yang akan dikembangkan, yang diharapkan akan memenuhi kebutuhan gas bumi dari dalam negeri, termasuk proyek pengembangan lapangan Abadi di Blok Masela, pengembangan Train 3 dan 4 di Tangguh oleh BP Tangguh bersama mitranya, serta Blok East Natuna.

Produksi gas bumi dari lapangan Abadi, Blok Masela tampaknya baru akan masuk ke pasar sekitar tahun 2019-2020, dengan catatan rencana pengembangan blok tersebut sesuai dengan masterplan. Juga tergantung apakah pemerintah akan memperpanjang kontrak Inpex di blok tersebut mengingat kontrak Inpex akan berakhir tahun 2028. Masa produksi yang hanya sekitar 10 tahun untuk proyek raksasa sekelas Blok Masela dirasakan oleh operator (Inpex) tidak cukup, sehingga operator blok tersebut telah mengajukan perpanjangan jauh-jauh hari (sebelum 10 tahun).

Kita menyaksikan pengembangan beberapa lapangan gas tersendat, sementara permintaan dalam negeri terhadap gas bumi terus meningkat. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah antisipasi.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, memastikan proyek-proyek gas yang telah  berproduksi tetap berproduksi secara konsisten. Ini termasuk produksi gas bumi dari Blok Mahakam, Grisik di Sumatera maupun dari lapangan-lapangan lainnya. Kedua, mendorong operator-operator Blok Migas agar mengembangkan proyek migas sesuai rencana, termasuk proyek train 3 BP Tangguh dan lapangan Abadi di Blok Masela.

Dalam konteks ini pemerintah perlu memastikan produksi gas bumi dari Blok Mahakam tetap berjalan walaupun kontrak operator blok tersebut akan berakhir tahun 2017.  Total E&P Indonesie tampaknya terus melanjutkan pengembangan beberapa lapangan seperti proyek Sisi Nubi fase 2B dan Peciko 7B, yang saat ini memasuki tahap finalisasi. Menurut berita-berita di media, proyek-proyek pengembangan Blok Mahakam tersebut akan selesai akhir tahun, sehingga pengeboran untuk mencari cadangan migas baru dapat dimulai akhir tahun atau awal tahun depan.

Namun, untuk pengembangan proyek baru di Blok Mahakam bisa saja ditahan dulu jelang kontrak berakhir karena pemerintah belum membuat keputusan apakah memperpanjang kontrak Total E&P atau tidak, atau membuat skema baru. Keputusan yang cepat dari pemerintah diperlukan untuk memastikan investasi dan produksi gas bumi dari Blok Mahakam tetap berjalan dan tidak terganggu.

Selain mendorong operator-operator blok migas untuk mengembangkan proyek yang ada, pemerintah juga perlu mendorong investor migas untuk meningkatkan investasi, terutama untuk eksplorasi atau mencari lapangan baru. Tanpa eksplorasi, tidak akan ada penemuan cadangan gas baru. Konsekuensinya, cadangan gas akan berkurang sehingga dapat berdampak terhadap produksi gas bumi, yang ujung-ujungnya dapat membawa dampak buruk bagi perekonomian nasional. 

Jadi, pemadaman listrik yang dialami beberapa wilayah di Indonesia belakangan ini harus menjadi alarm atau wake-up call bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi gas bumi kedepan, termasuk memastikan produksi gas bumi dari Blok Mahakam tidak terganggu serta mendorong pengembangan proyek-proyek gas baru. Tidak kalah penting adalah mendorong pihak swasta untuk meingkatkan investasi, khsususnya untuk eksplorasi atau mencari cadangan baru. Tanpa penemuan cadangan baru, penurunan produksi gas hanya akan menunggu waktu. Dan bila produksi gas menurun, suplai gas ke PLN dan industri menurun, dan tentu akan berdampak sangat luas bagi perekonomian nasional. PR besar pemerintah saat ini adalah memastikan produksi gas ditingkatkan. (*) 

Rabu, 02 Oktober 2013

Membangun Ketahanan Energi atau Nasionalisasi Migas?


Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing. 
* * *






Peran gas bumi bagi industri di Indonesia kini kian penting. Beberapa industri telah menggunakan gas bumi sebagai sumber energi untuk menggerakkan roda usaha mereka. Para produsen industri keramik di berbagai sentra industri di Jawa Barat dan Jawa Timur, misalnya, kini sangat bergantung pada ketersediaan gas alam. Bagi mereka, ketahanan energi (energy security) berarti konsistensi ketersediaan gas alam. Bila aliran gas alam terganggu maka usaha mereka pun terganggu.

Industri pupuk juga merupakan industri yang sangat bergantung pada ketersediaan gas bumi. Gas bumi bahkan menjadi salah satu bahan utama dalam proses pembuatan pupuk. Bagi produsen pupuk seperti Pupuk Iskandar, Pupuk Sriwijaya dan pabrik pupuk lainnya, ketahanan energi berarti konsistensi ketersediaan gas bumi.

Apa yang dialami oleh industri keramik dan pupuk menunjukkan  betapa pentingnya konsistensi dan kelanggengan ketersediaan sumber daya energi bagi kelangsungan usaha. 

Bagi masyarakat umum, kebutuhan energi yang terutama adalah listrik. Listrik digunakan tidak hanya untuk menerangi rumah tapi juga untuk menghidupkan berbagai peralatan rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, strika, AC, komputer, dll. Listrik yang mengalir ke rumah digerakkan oleh sumber energi seperti minyak, gas bumi, panas bumi (geothermal) atau tenaga air. Bila sumber energi tersebut terganggu atau terhenti maka aliran listrik ke rumah tangga dan industri terganggu dan bahkan terhenti.

Berbagai contoh di atas menggambarkan ketersediaan energi itu sangat vital bagi sebuah ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sebagian besar negara di dunia menempatkan ketahanan energi sebagai prioritas utama.

Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya telah menyadari pentingnya ketahanan energi. Hal ini terlihat dari terbentuknya Badan Ketahanan Energi Nasional. Namun, kita juga sering mendengar kritikan dari berbagai pihak bahwa Indonesia belum memiliki roadmap dan strategi yang jelas terkait ketahanan energi. Prioritas pemerintah juga sering berubah-ubah.

Satu hal yang pasti dan tidak terbantahkan adalah bahwa ketahanan energi itu sangat penting. Setiap negara tentu punya strategi masing-masing dalam menjamin energy security. Bagi negara yang memiliki sumber energi yang melimpah tentu tidak menjadi masalah. Namun, bagi negara yang sumber energinya terbatas seperti Indonesia, ketahanan energi menjadi masalah. Produksi minyak, misalnya, cenderung menurun dan diperkirakan akan habis dalam 11 tahun mendatang bila tidak ada penemuan cadangan minyak baru. Produksi gas bumi juga pada suatu saat akan habis bila tidak dilakukan eksplorasi baru.

Pada konteks ketersediaan sumber energi, khususnya minyak dan gas bumi, Indonesia perlu mendorong eksplorasi minyak dan gas agar cadangan meningkat. Bila cadangan meningkat, maka produksi migas di masa mendatang dapat meningkat atau paling tidak, produksi tidak menurun.

Pada konteks ini, maka bagi Indonesia yang terpenting adalah bagaimana memastikan produksi minyak dan gas bumi terus meningkat atau paling tidak dipertahankan, sehingga ketergantungan pada impor dapat dikurangi. Untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, Indonesia tentu saja membutuhkan pelaku usaha, investor atau perusahaan migas untuk mengangkat sumber energi tersebut dari permukaan bumi.

Persoalannya, era “easy oil”, tatkala minyak mudah diperoleh, memasuki babak akhir. Dulu, mungkin perusahaan tinggal mengebor 100 meter, sudah dapat menemukan minyak. Tapi kini, mendapatkan minyak dan gas bumi kian sulit. Produsen harus mengebor jauh lebih dalam untuk mendapatkan minyak dan gas bumi. Disamping itu, sebagian besar lapangan minyak dan gas kita sudah tua sehingga dibutuhkan teknologi semakin canggih untuk memproduksi minyak dan gas.

Lokasi minyak dan gas bumi tidak lagi berada di daratan. Menurut catatan SKK Migas, hampir 70 persen lapangan migas baru kini berada di laut lepas (offshore). Sebagian besar berada di laut dalam (deepwater) dengan keadalaman di antara 500 hingga 10,000 meter dibawah dasar laut. Bisa dibayangkan, dibutuhkan teknologi semakin canggih untuk mengangkat minyak dan gas bumi.

Melihat kondisi ini, Indonesia membutuhkan perusahaan-perusahaan migas besar, yang memiliki modal yang mumpuni dengan kemampuan teknologi yang memadai serta memiliki tingkat pengalaman yang cukup untuk mengangkat minyak dan gas dari perut bumi. 

Indonesia beruntung karena hampir semua perusahaan-perusahaan migas terbesar dan ternama di dunia beroperasi di Indonesia. Shell dan Inpex, misalnya, kini sedang mengembangkan Blok Masela, sebuah lapangan lepas pantai di Laut Arafura. Tentu pengembangan blok tersebut membutuhkan modal, teknologi dan pengalaman yang tentu dimiliki oleh Inpex dan Shell.

BP, perusahaan asal Inggris, juga beroperasi di Papua dengan mengembangkan proyek BP Tangguh. Lebih awal dari perusahaan itu, Total E&P Indonesie, perusahaan migas raksasa asal Perancis juga telah lama hadir di Indonesia dengan mengembangkan Blok Mahakam, bermitra dengan Inpex Corporation.

Pertamina, perusahaan minyak dan gas milik pemerintah, kini juga namanya dipertaruhkan untuk mengembangkan Blok East Natuna. Pertamina memimpin konsorsium yang beranggotakan ExxonMobil, Total EP Indonesie serta PTTEP Thailand. Pertamina dan Exxon memiliki 35% hak partisipasi (participating interest/PI), sedangkan PTTEP dan Total masing-masing memiliki 15%. ExxonMobil akan menjadi operator saat 10 tahun fase eksplorasi, sedangkan Pertamina menjadi operator saat masa produksi selama 40 tahun.

Isu utama bagi Indonesia adalah bagaimana menjamin ketersediaan energi di masa datang (energy security). Untuk menjamin ketersediaan energi, maka Indonesia membutuhkan best players di industri migas. Dan best players itu sudah berada di Indonesia, tinggal bagaimana pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan dunia tersebut agar mendukung upaya pemerintah memproduksi minyak dan gas bumi, demi terjaminnya suplai energi dimasa datang.

Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing. 
Prabowo Subianto (http://goo.gl/YjjC1o) sebagai bakal calon presiden dari Partai Gerindra baru-baru ini juga menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan nasionalisasi migas. Prabowo mengatakan berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisasi. Ia menekankan lebih penting bekerja untuk kepentingan nasional daripada menasionalisasi industri migas. (*)