Rabu, 24 September 2014

KPK Akan Banding Atas Vonis 8 Tahun Anas?

Anas Urbaningrum disidang
Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga! Tak lain dan tak bukan yaitu penjatuhan vonis atas Anas Urbaningrum. Bukan di Monumen Nasional (Monas), namun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Majelis hakim menjatuhkan vonis 8 (delapan) tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut.

Anas dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.

"Menyatakan terdakwa bersalah, dan putusan delapan tahun penjara," ujar Ketua Majelis Hakim, Haswandi saat membacakan putusan terhadap Anas.

Dalam sidang petang ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut menganggap bahwa Anas Urbaningrum memiliki pengaruh besar mengatur sejumlah proyek ketika menjabat sebagai Ketua DPP Partai Demokrat. Bahkan pengaruh Anas semakin membesar ketika terpilih menjadi anggota DPR periode 2009-2014.

"Dengan kedudukannya sebagai ketua DPP bidang politik terdakwa mempunyai pengaruh yang besar untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN. Lalu terdakwa menjadi semakin besar setelah menjadi anggota DPR dan terpilih periode 2009-2014 serta ditunjuk sebagai ketua Fraksi Demokrat," ujar hakim Sutio Jumagi.

Mengacu pada pertimbangan hakim, posisi ketua DPP merupakan pijakan awal politik lanjutan Anas. Langkah politik ini dimulai pada 2005 ketika Anas berhenti sebagai anggota KPU dan selanjutnya masuk sebagai anggota Partai Demokrat dan berhasil menduduki jabatan Ketua DPP bidang politik

Hakim menyebut Anas mulanya menggunakan PT Anugrah Nusantara bersama Nazaruddin untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

"Selain mempergunaakn Anugrah Nusantara, terdakwa dan saksi Nazaruddin mendirikan perusahaan untuk proyek pemerintahan dan selanjutnya meminta fee dan proyek dikerjakan subkontraktor," ujar hakim Sutio.

Namun Anas masih beruntung. Karena sebenarnya salah satu tuntutan Jaksa KPK terhadap Anas adalah pencabutan hak politik Anas sehingga tak bisa lagi dipilih untuk mendapat jabatan publik. Namun hakim menolak tuntutan tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut, “Mengenai tuntutan pencabutan hak politik terdakwa. Untuk meraih jabatan publik harus dikembalikan kepada publik apakah masih bisa dipilih atau tidak, maka majelis hakim tidak sepakat tentang tuntutan jaksa,” ujar hakim.

Sebelumnya, selain menuntut Anas Urbaningrum dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp94,18 miliar dan 5.26 juta dolar AS, jaksa KPK menuntut pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik.

Jaksa KPK juga menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kotajaya. “Bagi KPK, Anas itu diperlakukan sama posisinya sama dengan terdakwa kasus korupsi lainnya, tidak ada bedanya sama sekali, sama seperti Djoko Susilo, [Ratu] Atut, Rusli Zainal, Akil [Mochtar] dan lain-lain yang juga diminta untuk dicabut hak dipilih dan memilihya,” jelas Bambang Widjojanto.

Kira-kira Anas masih ingat tidak ya bahwa dulu dia pernah bilang kalau dia korupsi Rp 1 saja, silahkan gantung dia di Monas. Termakan omongan sendiri deh!


Tapi sepertinya sih KPK akan banding karena biasanya hal tersebut dilakukan apabila penjatuhan vonis di bawah 2/3 tuntutan hukuman. Memang seharusnya Anas diberikan hukuman yang lebih berat dong supaya bisa kasih efek jera tak hanya ke dia, namun juga jadi peringatan bagi yang lain yang sedang mikir-mikir untuk korupsi.

Kamis, 18 September 2014

LHI Koruptor Indonesia Mau Untung Malah Buntung

LHI tepok jidat
Niatnya mau mendapat hukuman yang lebih ringan, eh malah terperosok makin dalam. Itulah kira-kira deskripsi yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang dialami oleh Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terjerat dalam kasus korupsi dan pencucian uang.

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari LHI. Majelis hakim kasasi menilai bahwa permohonan kasasi tersebut hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Namun malahan sebaliknya majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 15-9-2014 atas perkara kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014 vonis terhadap LHI diperberat.

"Memperbaiki putusan PN/PT Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 18 (delapan belas) tahun Denda Rp 1 miliar kalau tidak dibayar dijatuhi pidana kurungan selama 6 bulan. Mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik," demikian bunyi sebagian petikan putusan tersebut.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menguatkan hukuman terdakwa kasus dugaan suap pengurusan penambahan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian tersebut. PT DKI dalam putusannya menguatkan hukuman 16 tahun penjara kepada LHI sebagaimana vonis di tingkat pertama Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta. Putusan banding tersebut diputuskan pada 16 April 2014 oleh Majelis Hakim Tinggi. Dalam putusan itu Majelis Hakim Tinggi menilai pertimbangan hukum yang diambil Majelis Hakim pada tingkat pertama sudah tepat, benar, dan sesuai.‎

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut memberikan komentar terhadap keputusan MA tersebut. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto beranggapan bahwa putusan MA ini bisa menjadi bahan rujukan bagi pengadilan yang lain untuk ke depannya.

"‎Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark (tolak ukur) dan rujukan bagi pengadilan," tutur Bambang.

Bambang pun mengomentari  soal pencabutan hak politik LHI oleh MA. Menurutnya, hal itu dapat mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku pejabat publik yang seringkali memanfaatkan kekuasaannya untuk bertindak melawan hukum dan mengadakan transaksional.

Bambang menyatakan bahwa KPK akan tetap menuntut pencabutan hak politik bagi para terdakwa kasus dugaan korupsi.

Pegiat Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho juga ikut menanggapi perihal putusan tersebut. "Saya pikir putusan MA (kepada LHI) harus jadi acuan hakim-hakim yang lain untuk berani memutuskan perkara yang melibatkan koruptor untuk mencabut hak politik mereka. Kalau LHI hukumannya 18 tahun penjara dan masih menerima remisi dan pembebasan bersyarat, dia paling cuma jalani delapan atau sembilan tahun penjara. Maka itu harus diberlakukan pencabutan remisi dan pembebasan bersyarat." jelas Emerson.


Langkah MA tersebut patut diapresiasi karena memberikan angin segar pada penegakan pemberantasan korupsi. Kalau kinerja KPK dan jajaran pengadilan senantiasa sebagus ini, tentunya orang-orang akan kapok tidak berani korupsi lagi.

Kamis, 11 September 2014

RUU Pilkada Memundurkan Demokrasi Indonesia

Ahok
Enam belas tahun pasca tumbangnya Orde Baru di bawah kediktatoran Suharto, Indonesia menikmati demokrasi layaknya negara-negara maju lainnya di dunia ini. Pemilu dilaksanakan di seluruh pelosok Indonesia dengan jujur dan adil dan transparan. Pemilu terakhir melahirkan presiden terpilih Jokowi yang memang dicintai oleh rakyat. Namun baru-baru ini terjadi tamparan yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi bangsa ini yakni Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

RUU Pilkada tersebut rencananya akan mengembalikan pilkada ke DPRD dinilai oleh banyak pihak sebagai sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia. "Saya melihat hal ini merupakan kemunduran demokrasi," ujar pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung Arizka Warganegara.

Dia menyampaikan bahwa sejak awal cita-cita reformasi adalah meletakkan desentralisasi politik secara nyata di kabupaten dan kota. Namun, nyatanya dengan diberlakukannya RUU ini maka komitmen meneruskan tradisi dan cita-cita reformasi itu lenyap. Dia juga menyebutkan bahwa salah satu alternatif menekan persoalan muncul dalam pilkada langsung antara lain dengan membarengkan pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada.

Selain itu, pengamat politik dari FISIP Unila lainnya, Dr Syarief Makhya mengatakan bahwa penentuan keputusan politik atas cara pemilihan kepala daerah harus bisa menjawab persoalan pokok yang telah menjadi masalah dalam pilkada itu. "Hal pokok apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD, yaitu harus terjamin prinsip jujur dan adil," kata Syarief.

Lebih lanjut lagi, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apeksi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apoksi) juga telah menyatakan bahwa mereka menolak pilkada yang diwakili oleh DPRD. Penolakan tersebut akan langsung diberitahukan pada Presiden SBY melalui surat tertulis.

"Menolak secara tegas pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Rekomendasi ini akan disampaikan pada yang terhormat Presiden RI, Wakil Presiden RI, Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, Menkopolhukam, Mendagri, Menkum dan HAM, bupati dan walikota," ujar Ketua Apeksi Vicky Lumentut.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra juga mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak langsung bisa batal bila SBY turun tangan. "Kalau tidak setuju maka tidak bisa disahkan," tegasnya.

Walikota Bandung Ridwan Kamil berujar bahwa pihak yang paling menderita jika pilkada tak langsung diterapkan adalah para kepala daerah. Walaupun saat pilkada didukung PKS dan Gerindra, ia mengaku tidak takut dengan sanksi yang akan diberikan.

"Objek penderita itu bupati dan walikota, selain itu rakyat. Bukan urusan sanksi, itu urusan kesekian. Ini mewakili suara rakyat," pungkasnya.

Yang paling heboh tentunya adalah pengunduran diri Ahok dari Gerindra sebagai bukti pernyataan sikap ketidaksetujuannya terhadap sikap partai yang mengkampanyekan penghapusan pilkada langsung tersebut.

Sepertinya penolakan masyarakat dari berbagai kalangan terhadap RUU Pilkada ini sangat luas. Semoga saja aspirasi tersebut memang didengarkan dan RUU tersebut tidak jadi disahkan.



Kamis, 04 September 2014

Vonis Atut Tidak Membuat Jera Koruptor Indonesia

Atut pasca penjatuhan vonis
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga, yaitu penjatuhan vonis hukuman kepada Ratu Atur Chosiyah, Gubernur Banten nonaktif. Namun tak disangka-sangka, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis pidana hanya 4 tahun penjara serta denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Sangat mengecewakan!

Namun memang dasarnya tak tahu diuntung, Ratu Atut masih juga merasa vonis tersebut tidak adil‎. "Tidak adil. Doakan semuanya ya keadilan terjadi kepada saya," keluh Atut. Atut merasa dirinya dirugikan demi kepentingan pihak lain yakni pengacara Susi Tur Andayani dan mantan calon bupati Lebak, Amir Hamzah. "Saya korban kepentingan Susi dan Amir Hamzah," ujarnya.

Atut dinyatakan terbukti bersalah secara bersama-sama dengan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan karena melakukan suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar. Uang tersebut diberikan terkait pengurusan sengketa ‎Pilkada Kabupaten Lebak 2013.

Vonis 4 tahun yang dijatuhkan tersebut jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang menuntut Ratu Atut dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta‎ subsider 5 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut pidana tambahan, yaitu pencabutan hak-hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.‎

Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku tidak puas dengan vonis majelis hakim tersebut. "Masalah lamanya pidana yang tidak sesuai dengan pidana kita dan pidana tambahan yang tidak dikabulkan oleh hakim. Itu tidak sesuai tuntutan. Kita masih akan pikir-pikir karena kita laporkan dulu ke pimpinan," pungkas Jaksa Eddy Hartoyo .

Ketika membacakan vonis, hakim menilai sebagian dakwaan dan tuntutan Jaksa terlalu banyak berasumsi. Maka dari itu hakim menilai vonis empat tahun penjara yang pantas diberikan kepada Ratu Atut.

Sedangkan, Jaksa Eddy menilai pernyataan Hakim yang mengatakan dakwaan dan tuntutan Jaksa berdasarkan asumsi tidak benar. Menurutnya, semua dakwaan dan tuntutan yang telah dibuat didasarkan pada fakta-fakta dan bukti selama proses penyidikan dan persidangan. "Kalau kita dibilang asumsi itu kita tidak sependapat. Itu adalah fakta hukum yang kita dapatkan selama proses di penyidikan dan persidangan," kilah Eddy.

Memang sangat disayangkan vonis yang sungguh ringan yang dijatuhkan pada Atut. Padahal kita tahu sendiri bahwa Atut telah mendirikan dinasti keluarganya di Banten! Belum lagi dengan rahasia umum dimana jalanan buruk dan listrik tidak dialirkan di wilayah yang tidak memenangkan Atut pada saat pilkada. Kalau dengan korupsi sebegitu banyaknya namun hanya divonis 4 tahun, lebih baik korupsi saja daripada susah-susah bekerja puluhan tahun. Penjara pun bisa beli kamar, tinggal beli saja kamar yang nyaman di dalam penjara. Sungguh tidak adil! Semoga jaksa mengajukan banding dan Atut dihukum lebih berat! Koruptor perlu dijerakan di negeri sarang koruptor ini.