Selasa, 25 Maret 2014

Inilah 10 Kota Paling Berisiko di Dunia, Jakarta di Urutan ke-5

Dimanakah Anda tinggal saat ini? Bila Anda dan saya tinggal di Jakarta, maka kita tinggal di salah satu kota paling berisiko terhadap bencana di dunia. Menurut ranking kota paling berisiko di dunia yang dikeluarkan oleh Swiss Re, Jakarta berada di urutan ke-5 sebagai kota paling berisiko di dunia. Di urutan pertama sebagai kota paling berisiko di dunia saat ini adalah Tokyo, Jepang.

Ranking 10 kota paling berisiko terhadap bencana tersebut berdasarkan hasil analysis Swiss Re, salah satu perusahaan reasuransi terbesar dan terkemuka di dunia. Bagi industri asuransi, ini merupakan pertanyaan yang paling mendesak. Karena itu, tahun lalu Swiss Re melakukan analisa dan evaluasi terhadap 616 kota besar di seluruh dunia dan bagaimana kota-kota tersebut terekspos atau terpapar oleh ancaman gempa bumi, hurricanes, siklon, badai, banjir dan tsunami.

Berikut adalah daftar 10 kota Paling Berisiko di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Guardian.

10. Teheran, ibukota Iran
Kota Iran berisiko karena berada di lintasan Pacific Ring of Fire sehingga berisiko terjadi gempa bumi. Kota tersebut juga berada di patahan Northern Anatolian, salah satu patahan paling berbahaya dan rentan di dunia. Seluruh 13,6 juta penduduk Tehran terpapar oleh risiko bencana gempa bumi. Kota-kota terdekat seperti Bucharest, Tashkent, ibukota Uzbekistan serta Turki juga terancam oleh bahaya gempa bumi. Gempa bumi paling dahsyat tercatat terjadi pada tahun 1830, menyusul gempa-gempa yang lumayan besar yang terjadi di beberapa dekade terakhir.

9. Los Angeles, Amerika Serikat.
Kota Los Angeles (LA) berada di patahan San Andreas yan gmembuat kota ini terekspos oleh risiko terjadi gempa bumi. Subduksi lempeng lautan yang terus mendesak ke lempeng benua dapat menciptakan tsunami, yang disebut patahan ‘strike-slip’ seperti patahan San Andreas dan Northern Anatolian. Kota berpenduduk 14,7 juta jiwa ini terancam oleh risiko gempa bumi.

8.Shanghai River, China
Kota Shanghai berada di urutan ke-8 sebagai kota paling berisiko di dunia karena letaknya berada di pinggir sungai, sehingga (river delta) sehingga terancam banjir besar. Kota berpenduduk 11,7 juta jiwa ini terancam oleh banjir setiap tahun. Kota-kota lain di dunia yang menghadapi risiko serupa tapi dengan tingkat risiko rendah adalah Bangkok, Mexico City, Bagdad,  Paris dan Doha.

7.Kalkuta, India
Kalkuta berpenduduk 10,5 juta jiwa ini berada di urutan ke-7 kota paling berisiko di dunia. Ancaman bahaya terbesar adalah bencana banjir yang membuat penduduk kota tersebut terancam. Kota ini juga terancam oleh tsunami dengan sekitar 500,000 terpapar risiko tsunami. Ancaman lain adalah hurricanes.

6. Nagoya, Jepang
Kota berpenduduk 2,4 juta jiwa ini berada di urutan ke-6 kota paling berisiko di dunia. Ancaman terbesar yang dihadapi oleh kota  ini adalah Tsunami yang mendominasi risiko terbesar di Pasifik. Kota ini terpapar oleh ancaman gempa bumi akibat patahan lempengan di laut barat daya. Nagoya bersama Tokyo-Yokohama menghadapi ancaman yang sama dengan total 12 juta jiwa terancam oleh tsunami. Namun, Swiss Re mengatakan jumlah penduduk yang terancam tsunami dan menimbulkan kerugian jiwa manusia bisa lebih besar dari yang diperkirakan.

5. Jakarta, Indonesia
Rupanya Jakarta merupakan salah satu kota paling berisiko di dunia. Alasannya, sekitar 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut dan terletak di dataran rendah dengan kondisi tanah yang lembut. Ini berarti bila terjadi gempa bumi, kota berpenduduk 17,7 juta jiwa ini terancam oleh getaran gempa yang dahsyat. Gempa juga dapat menyebabkan runtuhnya tanah karena kondisi tanah yang tidak keras. Disamping itu, kota ini berisiko terhadap banjir karena dilewati oleh sungai-sungai dan membuat kota Jakarta sebagai salah satu kota paling berisiko di planet ini.

4. Osaka-Kobe, Jepang
Kota Osaka-Kobe yang berpenduduk 14,6 juta jiwa ini berada di urutan ke-4 sebagai kota paling berisiko di dunia. Ancaman terbesar adalah gempa bumi, seperti yang terjadi tahun 1995 yang menwaskan ribuan orang. Kota ini juga terancam oleh badai serta banjir. Sekitar 3 juta jiwa penduduk yang tinggal di pinggir pantai berisiko terkena gelombang dahsyat (gigantic waves. Kota ini juga merupakan kota ke-3 di dunia yang paling rentan terhadap ancaman tsunami.

3. Pearl River Delta, China
Pearl River Delta berada di provinsi Guangdong, China, dekat dengan Shenzhen, Dongguang, Macau dan Ghangzhou. Kota-kota ini berpenghuni 42 juta jiwa dan merupakan pilar dan motor pertumbuhan ekonomi China dengan GDP mencapai sekitar US$690 miliar. Pearl River Delta terancam oleh banjir serta badai. Sekitar 5,3 juta penduduk tinggal di daerah yang paling rawan terkena bencana.

2. Manila, Filipna
Kota Manila, ibukota Filipina, berada di urutan ke-2 sebagai kota paling berisiko terhadap ancaman bencana di dunia. Kota ini menghadapi ancaman risiko gempa bumi, badai serta siklon, seperti typhoon Haiyan yang terjadi beberapa waktu lalu yang melanda Filipina, yang menghancurkan kawasan-kawasan tertentu Filipina, seperti kota Tacloban. Ribuan orang terbunuh di kota itu.

1)      Tokyo-Yokohama, Jepang
Kota Tokyo dan Yokohama, Jepang dengan jumlah penduduk 37 juta jiwa merupakan kota paling berisiko nomor 1 di dunia. Ancaman terbesar yang dihadapi adalah gempa bumi, monsoons, banjir dan tsunami. Sekitar 80% penduduk kota Tokyo, terpapar oleh risiko bencana. Jepang juga merupakan negara yang paling berisiko terhadap ancaman tsunami di dunia. Letaknya yang berada di Ring of Fire (cincin api), aktif lempeng bumi Pasifik Barat. Salah satu gempa bumi paling dahsyat tercat terjadi tahun 1923, yang dikenal dengan sebutan the Great Kanto Earthquake yang meluluhlantakan kota Tokyo dan Yokohama. Tercatat 142,800 orang terbunuh oleh gempa dahsyat tersebut. 

Ranking yang dikeluarkan oleh Swiss Re ini diharapkan menjadi masukan berharga bagi pemerintah provinsi  DKI Jakarta dan gubernur Joko Widodo (Jokowi) serta wakil gubernur Ahok serta Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Perencanaan dan pengembangan kota serta pembangunan di Ibu kota ini harus memperhatikan tingkat risiko bencana yang dihadapi. Warga Ibukota juga harus menyadari bahwa mereka berada atau tinggal di salah satu kota paling berisiko di dunia, sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi bencana, entah banjir atau gempa bumi. Seberapa jauh warga Ibu kota menyadari ancaman/risiko bencana yang dihadapi? Jawabannya ada pada warga Ibu Kota sendiri dan menjadi tanggungjawab bersama untuk memitigasi ancaman tersebut. 

Langkah Jokowi dan Ahok untuk membuat bendungan di Ciawi serta langkah-langkah lain untuk mengurangi risiko bencana banjir patut dihargai dan didukung oleh seluruh warga ibukota. Ini juga menjadi PR bagi Gubernur Jokowi atau penggantinya kelak (Ahok) bila Jokowi menjadi Presiden RI (jika terpilih) dalam Pemilu 2014 ini. (*)

Selasa, 18 Maret 2014

Harison Ford, Kerusakan Hutan Tropis Indonesia, Bencana Asap & Years of Living Dangerously



Pada bulan September 2013, Harison Ford, aktor kawakan Hollywood yang populer melalui film Indiana Jones dan Star Wars, sempat menyedot perhatian publik karena berulah saat melakukan interview dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ford dilaporkan melompat-lompat di atas meja lobby Menteri sebagai ekspresi kekecewaannya atas kerusakan hutan yang masif di Indonesia sehingga merusak hutan alam dan hutan lindung serta satwa liar yang menghuni hutan tersebut.

Salah seorang staf ahli Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief, menuduh Ford dan crew film telah melakukan ‘penghinaan’ terhadap lembaga pemerintah, dalam hal ini, Kementrian kehutanan, dan mengancam akan mendeportasi Ford. Menteri Kehutanan menyesalkan karena Ford tidak memberikan pertanyaan sebelum melakukan wawancara sehingga Menteri memilik waktu yang cukup untuk menyiapkan jawaban. Ford dianggap membobardir Menteri Zulkifli dengan rentetan pertanyaan tanpa memberi waktu cukup kepada Menteri Zulkifli untuk menjelaskan duduk persoalan.

Tetapi kemudian Ford diberi kesempatan untuk beraudiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat pertemuan tersebut, Ford mengekspresikan kekhawatirannaya aas kerusakan lingkungan yang masif, khususnya kerusakan hutan alam di Indonesia yang kian mengkhawatirkan. Presiden SBY pun menjelaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga laut dan hutan.

Kedatangan Ford di Indonesia merupakan bagian dari proses pembuatan film dokumentari tentang kerusakan hutan, yang kabarnya akan ditayangkan ke publik bulan April 2014 ini. Ford membuat film dokumentasi, khususnya kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, Sumatera.

Kekecewaan dan kekhawatiran Ford sebenarnya menggambarkan kekhawatiran dunia dan masyarakat Indonesia atas kerusakan hutan alam di Indonesia, yang terjadi secara luas dalam 1-2 dekade terakhir. Bukan hanya Ford yang menunjukkan kekhawatiran. Sebagian lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun kelompok-kelompok masyarakat telah menyampaikan kekhawatirannya dengan cara masing-masing atas berkurangnya hutan alam di Indonesia. Berkurangnya an rusaknya hutan alam di Indonesia terjadi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Hal ini terjadi di Kalimantan dan Sumatera.

Data dari Forest Watch yang dimuat dalam buku Potret Keadaan Hutan di Indonesia , Periode 2000-2009 menunjukkan deforestation yang luas terjadi antara tahun 2000-2009. Laporan tersebut diterbitkan tahun 2011. Dan tampaknya kerusakan hutan terus terjadi hingga saat ini.
Menurut data tersebut, selama periode tersebut, Indonesia kehilangan kawasan hutan alam seluas 15.16 juta hectar. Kalimantan menjadi penyumbang deforestation seluas 5.50 juta hektar atau 36.32 persen dari total kawasan hutan yang hilang atau rusak. Kerusakan hutan terjadi baik di Areal Penggunaan Lain (APL), hutan lindung maupun hutan konservasi, serta di lahan gambut.

Per tahun 2009, luas hutan Indonesia mencapai 88,17 juta hektar  atau sekitar 46,33 persen dari luas daratan Indonesia. Sekitar 38,72 persen dari hutan tersebut berada di Papua. Boleh jadi, luas hutan tersebut kini jauh berkurang lagi akibat rusak dan berkurangnya hutan di Indonesia.

Penyebab utama dari berkurangnya dan rusaknya hutan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan untuk memperluas perkebunan kelapa sawit, karet dan lain-lain, izin pemanfaatan lahan hutan untuk pertambangan, pengembangan hutan tanaman industri serta perambahan hutan atau illegal logging.

Deforestation juga terjadi di kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan. Mereka memanfaatkan izin tersebut untuk memotong kayu-kayu di hutan alam dalam wilayah konsesi mereka untuk kemudian diganti dengan tanaman lain seperti karet, akasia dan lain-lain.

Yang jelas, kawasan Hutan Lindung, Kawasan Konservasi dan kawasan fungsi lindung lainnya di Indonesia baik di Jambi, Riau dan kawasan Sumatera lainnya, maupun Kalimantan menghadapi masalah yang sama, yaitu ketidakseriusan negara, dalam hal ini, Kementerian Kehutanan dalam mengelola kawasan-kawasan tersebut.  Berbagai kawasan hutan lindung dan konservasi malah dikonversi dan dimanfaatkan dengan dalil untuk membangun ekonomi. Perusahaan-perusahaan membutuhkan lahan-lahan untuk perkebunan, sehingga membuat pemerintah mengeluarkan berbagai izin dalam 10 tahun terakhir.

Sebuah kawasan hutan misalnya dapat meminta Izin Pinjam Pakai kawasan hutan dan diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk kemudian diberikan ke pihak swasta berupa Hak Guna Usaha (HGU). Hanya kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi yang didukung oleh lembaga-lembaga internasional saja yang masih terpelihara dengan baik saat ini.

Pengurangan dan perusakan hutan lebih diperparahkan dengan adanya kongkalikong antara pengusaha dan pihak pemerintah/pemberi izin. Terkadang izin pemanfaatan lahan diberikan tanpa melalui proses yang benar. Di Jambi, misalnya, Taman Nasional Bukit Tigah Puluh yang menjadi habitat berbagai satwa liar dengan hutan yang masih alami terancam akibat kehadiran perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang berada di kawasan penyanggah hutan.

Perusahaan-perusahaan yang memegang izin tersebut terkadang membuka lahan dengan cara membakar, walau cara itu sudah dilarang. Terkadang perusahaan mencari cara dengan membayar pihak ketiga sehingga yang disalahkan adalah orang suruhan tadi. Beberapa aktivits lingkungan yang memantau dilapangan mengamini modus tersebut. Penyebab asap yang lain adalah terbakarnya lahan gambut setelah lahan basah gambut tersebut dikeringkan untuk kemudian ditanami. Terkadang asap disengaja tapi bisa juga akibat teriknya panas matahari yang memantik kebakaran.


Bila kita menelusuri lebih jauh, ternyata perusahaan-perusahaan HTI maupun perkebunan tersebut disokong oleh tokoh-tokoh yang memiliki link dengan kekuasaan. Tak heran bila kita melihat pensiuan jenderal duduk atau memegang posisi komisaris di perusahaan-perusahaan tersebut. Praktek-praktek seperti ini lumrah, ada hubungan mutual atau saling menguntungkan antara pemilik modal dan pemilik kekuasaan. Akibatnya, perusakan hutan tak terkendali. Sebagai contoh, ketika terjadi asap di Riau dan Jambi saat ini, sebagian asap dan kebakaran terjadi di perkebunan-perkebunan maupun di hutan tanaman industri. Tapi yang ditangkap oleh aparat hanya 1-2 perambah kelas teri, tapi korporasi besar tak tersentuh.

Walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pergi ke Riau untuk meninjau langsung upaya pemadaman asap, itu tak lebih dari gesture perhatian Presiden. Tapi sama seperti kasus-kasus lainnya, pernyataan keras Presiden hanya indah di atas kertas, tapi tidak diterapkan dan dilakukan secara konkrit di lapangan. Lihat saja, berapa luas hutan yang rusak dalam 10 tahun terakhir. Kita akan mendapatkan jawabannya betapa kita, bangsa Indonesia, telah merusak hutan. Merusak hutan berarti merusak masa depan bangsa ini, masa depan anak cucu kita, bahkan masa depan dunia karena hutan-hutan tropis di Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia. (*)

Kamis, 13 Maret 2014

Asap Di Riau dan Sekitarnya Tambah Parah dan Ancam Pemilu, Siapa Peduli?

Kota Riau dikepung asap
Bila Anda berencana bepergian ke Riau, Jambi atau Padang dalam hari-hari kedepan, mungkin rencana tersebut dipikirkan lagi. Betapa tidak, setelah lebih dari sebulan, rupanya asap api di Riau dan sekitarnya kini bertambah parah, bukannya berkurang. Provinsi Riau menderita paling parah. Banyak sekolah telah diliburkan, mobilitas masyarakat terganggu. Hari ini kita mendengar Departemen Perhubungan telah membatalkan 58 penerbangan ke Sumatera Utara, tidak hanya ke Riau tapi juga ke kota-kota besar sekitarnya seperti Padang atau Jambi. 

Cukup banyak penumpang yang kini terjebak dan tidak bisa bepergian. Bahkan ada beberapa pejabat pemerintah yang saat ini berada di Padang belum bisa kembali ke Jakarta. Rupanya, asap yang tadinya berpusat di provinsi Riau telah mengirim asap ke provinsi-provinsi tetangga seperti Sumatra Barat dan Jambi. Kita sebagai warga negara tentu sangat prihatin dengan kondisi di Riau. Prihatin karena kita punya sahabat, teman, keluarga atau rekan kerja yang kini tak bisa berbuat apa-apa, hanya berdoa dan menunggu asap itu pergi, tapi kapan? 

Masalah asap di Riau dan sekitarnya seharusnya bukan lagi menjadi masalah daerah tapi masalah nasional. Mengapa? Pertama, asap yang tebal dalam jangka waktu yang lama sangat berbahaya bagi kesehatan. Bila tak tertangani dan terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit Ispa dan penyakit lain yang mengancam jiwa manusia. 

Perkantoran Gubernur Riau
Lalu, dimanakah pemerintah? Demikian keluhan yang kita terima dari teman, sahabat atau keluarga-keluarga yang tinggal di Riau. Jawabannya, pemerintah belum berbuat banyak untuk mengatasi asap yang mengepung Riau dan sekitarnya. BNPB sudah mengirimkan pesawat dan berupaya untuk membuat hujan buatan, tapi hingga saat ini upaya tersebut belum kelihatan hasilnya. 

Tidak salah bila masyarakat dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan migas dan industri lain di Riau kini berteriak. Ada yang bahkan menulis surat kepada Presiden SBY. Isinya keluhan bahwa “titik api yang ada di Riau bukanlah simbol kemarahan Tuhan, tapi simbol keserakahan dan bukti ketidakpedulian Negara, bukti kepongahan Jakarta terhadap daerah. Bapak mau kesenini sekarang? Bandara ditutup pak, lagi pula tidak ada anak sekolah yang akan menyambut bapak. Sekolah telah diliburkan. Mau menempuh jalur darat? Bahaya pak, asap tebal tidak bagus buat kesehatan Bapak dan Ibu Ani, lagian tidak bagus untuk obyek foto untuk Instgram,” demikian isi celotehan pekerja tersebut yang dimuat di dinding wall facebooknya.

Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan mengungkapkan, departemennya terpaksa membatalkan 58 penerbangan ke Riau untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Pasalnya kondisi jarak pandang sudah membahayakan dan tidak mungkin dilakukan penerbangan.

Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan titik panas atau hotspot masih cukup banyak tersebar di beberapa provinsi di Sumatera bagian utara. Berdasarkan hasil pantauan hotspot tanggal 12 Maret 2014, berdasarkan data saetlit NOAA18, hot spot terbanyak berada di Riau (46 hotspot, disusul Jambi (21 hot spot), Aceh (14), Kepulauan Riau (8), Sumatera Utara (5), Sumatera Sealtan dan Babel (2 hotspot) dan Lampugn (1).

Ada beberapa kawasan konservasi yang juga dideteksi adanya hotspot, yaitu, 3 hotspot di Tahura, sekitar Tanjung Jambi, 4 hotspot di TN Berbak Jambi, 6 hotspot di TN Gunung Leuser Aceh dan 2 hotspot di TN Nesso Nilo Riau.

Kita sebagai warga negara tentu sangat prihatin dengan kepungan asap di Sumatra tersebut. Pemerintah pusat perlu segara mengambil tindakan lebih serius lagi untuk mengatasi asap di Riau. Disamping jutaan manusia yang terancam jiwanya, asap yang berkepanjangan bukan tidak mungkin akan mengancam jalannya proses Pemilihan Legislatif  9 April mendatang. Perjalanan logistik Pemilu bakal terancam. Para calon legislatif (Caleg) mungkin sulit untuk menemui konstituen mereka. Mereka memang tidak perlu menemui konstituen bila asap masih mengepung Riau dan sekitarnya. Sudah cukup bila para caleg menekan pemerintah untuk mengatasi asap di Riau. Maka itu sudah cukup bagi warga di Riau dan sekitarnya untuk mencoblos atau menentukan pilihan mereka. 

Asap di Riau juga seharusnya menjadi lecutan bagi para Caleg untuk lebih care dan punya perhatian lebih terhadap lingkungan hidup. Mereka harus menekan pemerintah pusat dan daerah untuk menghukum perusahaan-perusahaan atau warga yang terlibat aksi pembakaran hutan atau menyebabkan timbulnya hotspot. Jangan lupa, asap yang terjadi saat ini, bukan kali saja terjadi. Sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Persoalannya memang kompleks, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi. (*)