Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing. | |
* * * |
Industri pupuk juga merupakan industri yang sangat
bergantung pada ketersediaan gas bumi. Gas bumi bahkan menjadi salah satu bahan
utama dalam proses pembuatan pupuk. Bagi produsen pupuk seperti Pupuk Iskandar,
Pupuk Sriwijaya dan pabrik pupuk lainnya, ketahanan energi berarti konsistensi
ketersediaan gas bumi.
Apa yang dialami oleh industri keramik dan pupuk
menunjukkan betapa pentingnya konsistensi dan kelanggengan ketersediaan
sumber daya energi bagi kelangsungan usaha.
Bagi masyarakat umum, kebutuhan energi yang terutama
adalah listrik. Listrik digunakan tidak hanya untuk menerangi rumah tapi juga
untuk menghidupkan berbagai peralatan rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci,
strika, AC, komputer, dll. Listrik yang mengalir ke rumah digerakkan oleh
sumber energi seperti minyak, gas bumi, panas bumi (geothermal) atau tenaga
air. Bila sumber energi tersebut terganggu atau terhenti maka aliran listrik ke
rumah tangga dan industri terganggu dan bahkan terhenti.
Berbagai contoh di atas menggambarkan ketersediaan
energi itu sangat vital bagi sebuah ekonomi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila sebagian besar negara di dunia menempatkan ketahanan energi
sebagai prioritas utama.
Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya telah
menyadari pentingnya ketahanan energi. Hal ini terlihat dari terbentuknya Badan
Ketahanan Energi Nasional. Namun, kita juga sering mendengar kritikan dari
berbagai pihak bahwa Indonesia belum memiliki roadmap dan strategi yang jelas
terkait ketahanan energi. Prioritas pemerintah juga sering berubah-ubah.
Satu hal yang pasti dan tidak terbantahkan adalah
bahwa ketahanan energi itu sangat penting. Setiap negara tentu punya strategi
masing-masing dalam menjamin energy security. Bagi negara yang memiliki sumber
energi yang melimpah tentu tidak menjadi masalah. Namun, bagi negara yang
sumber energinya terbatas seperti Indonesia, ketahanan energi menjadi masalah.
Produksi minyak, misalnya, cenderung menurun dan diperkirakan akan habis dalam
11 tahun mendatang bila tidak ada penemuan cadangan minyak baru. Produksi gas
bumi juga pada suatu saat akan habis bila tidak dilakukan eksplorasi baru.
Pada konteks ketersediaan sumber energi, khususnya
minyak dan gas bumi, Indonesia perlu mendorong eksplorasi minyak dan gas agar
cadangan meningkat. Bila cadangan meningkat, maka produksi migas di masa
mendatang dapat meningkat atau paling tidak, produksi tidak menurun.
Pada konteks ini, maka bagi Indonesia yang terpenting adalah bagaimana memastikan produksi minyak dan gas bumi terus meningkat atau paling tidak dipertahankan, sehingga ketergantungan pada impor dapat dikurangi. Untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, Indonesia tentu saja membutuhkan pelaku usaha, investor atau perusahaan migas untuk mengangkat sumber energi tersebut dari permukaan bumi.
Persoalannya, era “easy oil”, tatkala minyak mudah diperoleh, memasuki babak akhir.
Dulu, mungkin perusahaan tinggal mengebor 100 meter, sudah dapat menemukan
minyak. Tapi kini, mendapatkan minyak dan gas bumi kian sulit. Produsen harus
mengebor jauh lebih dalam untuk mendapatkan minyak dan gas bumi. Disamping itu,
sebagian besar lapangan minyak dan gas kita sudah tua sehingga dibutuhkan
teknologi semakin canggih untuk memproduksi minyak dan gas.
Lokasi minyak dan gas bumi tidak lagi berada di
daratan. Menurut catatan SKK Migas, hampir 70 persen lapangan migas baru kini
berada di laut lepas (offshore). Sebagian besar berada di laut dalam
(deepwater) dengan keadalaman di antara 500 hingga 10,000 meter dibawah dasar laut.
Bisa dibayangkan, dibutuhkan teknologi semakin canggih untuk mengangkat minyak
dan gas bumi.
Melihat kondisi ini, Indonesia membutuhkan
perusahaan-perusahaan migas besar, yang memiliki modal yang mumpuni dengan
kemampuan teknologi yang memadai serta memiliki tingkat pengalaman yang cukup
untuk mengangkat minyak dan gas dari perut bumi.
Indonesia beruntung karena hampir semua
perusahaan-perusahaan migas terbesar dan ternama di dunia beroperasi di
Indonesia. Shell dan Inpex, misalnya, kini sedang mengembangkan Blok Masela,
sebuah lapangan lepas pantai di Laut Arafura. Tentu pengembangan blok tersebut
membutuhkan modal, teknologi dan pengalaman yang tentu dimiliki oleh Inpex dan
Shell.
BP, perusahaan asal Inggris, juga beroperasi di
Papua dengan mengembangkan proyek BP Tangguh. Lebih awal dari perusahaan itu,
Total E&P Indonesie, perusahaan migas raksasa asal Perancis juga telah lama
hadir di Indonesia dengan mengembangkan Blok Mahakam, bermitra dengan Inpex
Corporation.
Pertamina, perusahaan minyak dan gas milik
pemerintah, kini juga namanya dipertaruhkan untuk mengembangkan Blok East
Natuna. Pertamina memimpin konsorsium yang beranggotakan ExxonMobil, Total EP
Indonesie serta PTTEP Thailand. Pertamina dan Exxon memiliki 35% hak partisipasi (participating
interest/PI), sedangkan PTTEP dan Total masing-masing memiliki 15%. ExxonMobil
akan menjadi operator saat 10 tahun fase eksplorasi, sedangkan Pertamina
menjadi operator saat masa produksi selama 40 tahun.
Isu utama bagi Indonesia adalah bagaimana menjamin
ketersediaan energi di masa datang (energy security). Untuk menjamin
ketersediaan energi, maka Indonesia membutuhkan best players di industri migas.
Dan best players itu sudah berada di Indonesia, tinggal bagaimana pemerintah
menggandeng perusahaan-perusahaan dunia tersebut agar mendukung upaya
pemerintah memproduksi minyak dan gas bumi, demi terjaminnya suplai energi
dimasa datang.
Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing.
Prabowo Subianto (http://goo.gl/YjjC1o) sebagai bakal calon presiden dari
Partai Gerindra baru-baru ini juga menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan
nasionalisasi migas. Prabowo mengatakan berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisasi. Ia menekankan lebih penting bekerja untuk kepentingan nasional daripada menasionalisasi industri migas. (*)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusArtikel yg mencerahkan. Bagi pelaku industri tentu yg terpenting adalah ketersedian energi yang berkesinambungan. Bila energi terputus, maka usaha mereka terganggu alias berhenti. Konsumen tdk persoalkan siapa yg memproduksi, tp yg terpenting energi yg dibutuhkan tersedia dan berkelanjutan.
BalasHapus