Rabu, 02 Oktober 2013

Membangun Ketahanan Energi atau Nasionalisasi Migas?


Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing. 
* * *






Peran gas bumi bagi industri di Indonesia kini kian penting. Beberapa industri telah menggunakan gas bumi sebagai sumber energi untuk menggerakkan roda usaha mereka. Para produsen industri keramik di berbagai sentra industri di Jawa Barat dan Jawa Timur, misalnya, kini sangat bergantung pada ketersediaan gas alam. Bagi mereka, ketahanan energi (energy security) berarti konsistensi ketersediaan gas alam. Bila aliran gas alam terganggu maka usaha mereka pun terganggu.

Industri pupuk juga merupakan industri yang sangat bergantung pada ketersediaan gas bumi. Gas bumi bahkan menjadi salah satu bahan utama dalam proses pembuatan pupuk. Bagi produsen pupuk seperti Pupuk Iskandar, Pupuk Sriwijaya dan pabrik pupuk lainnya, ketahanan energi berarti konsistensi ketersediaan gas bumi.

Apa yang dialami oleh industri keramik dan pupuk menunjukkan  betapa pentingnya konsistensi dan kelanggengan ketersediaan sumber daya energi bagi kelangsungan usaha. 

Bagi masyarakat umum, kebutuhan energi yang terutama adalah listrik. Listrik digunakan tidak hanya untuk menerangi rumah tapi juga untuk menghidupkan berbagai peralatan rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, strika, AC, komputer, dll. Listrik yang mengalir ke rumah digerakkan oleh sumber energi seperti minyak, gas bumi, panas bumi (geothermal) atau tenaga air. Bila sumber energi tersebut terganggu atau terhenti maka aliran listrik ke rumah tangga dan industri terganggu dan bahkan terhenti.

Berbagai contoh di atas menggambarkan ketersediaan energi itu sangat vital bagi sebuah ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sebagian besar negara di dunia menempatkan ketahanan energi sebagai prioritas utama.

Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya telah menyadari pentingnya ketahanan energi. Hal ini terlihat dari terbentuknya Badan Ketahanan Energi Nasional. Namun, kita juga sering mendengar kritikan dari berbagai pihak bahwa Indonesia belum memiliki roadmap dan strategi yang jelas terkait ketahanan energi. Prioritas pemerintah juga sering berubah-ubah.

Satu hal yang pasti dan tidak terbantahkan adalah bahwa ketahanan energi itu sangat penting. Setiap negara tentu punya strategi masing-masing dalam menjamin energy security. Bagi negara yang memiliki sumber energi yang melimpah tentu tidak menjadi masalah. Namun, bagi negara yang sumber energinya terbatas seperti Indonesia, ketahanan energi menjadi masalah. Produksi minyak, misalnya, cenderung menurun dan diperkirakan akan habis dalam 11 tahun mendatang bila tidak ada penemuan cadangan minyak baru. Produksi gas bumi juga pada suatu saat akan habis bila tidak dilakukan eksplorasi baru.

Pada konteks ketersediaan sumber energi, khususnya minyak dan gas bumi, Indonesia perlu mendorong eksplorasi minyak dan gas agar cadangan meningkat. Bila cadangan meningkat, maka produksi migas di masa mendatang dapat meningkat atau paling tidak, produksi tidak menurun.

Pada konteks ini, maka bagi Indonesia yang terpenting adalah bagaimana memastikan produksi minyak dan gas bumi terus meningkat atau paling tidak dipertahankan, sehingga ketergantungan pada impor dapat dikurangi. Untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, Indonesia tentu saja membutuhkan pelaku usaha, investor atau perusahaan migas untuk mengangkat sumber energi tersebut dari permukaan bumi.

Persoalannya, era “easy oil”, tatkala minyak mudah diperoleh, memasuki babak akhir. Dulu, mungkin perusahaan tinggal mengebor 100 meter, sudah dapat menemukan minyak. Tapi kini, mendapatkan minyak dan gas bumi kian sulit. Produsen harus mengebor jauh lebih dalam untuk mendapatkan minyak dan gas bumi. Disamping itu, sebagian besar lapangan minyak dan gas kita sudah tua sehingga dibutuhkan teknologi semakin canggih untuk memproduksi minyak dan gas.

Lokasi minyak dan gas bumi tidak lagi berada di daratan. Menurut catatan SKK Migas, hampir 70 persen lapangan migas baru kini berada di laut lepas (offshore). Sebagian besar berada di laut dalam (deepwater) dengan keadalaman di antara 500 hingga 10,000 meter dibawah dasar laut. Bisa dibayangkan, dibutuhkan teknologi semakin canggih untuk mengangkat minyak dan gas bumi.

Melihat kondisi ini, Indonesia membutuhkan perusahaan-perusahaan migas besar, yang memiliki modal yang mumpuni dengan kemampuan teknologi yang memadai serta memiliki tingkat pengalaman yang cukup untuk mengangkat minyak dan gas dari perut bumi. 

Indonesia beruntung karena hampir semua perusahaan-perusahaan migas terbesar dan ternama di dunia beroperasi di Indonesia. Shell dan Inpex, misalnya, kini sedang mengembangkan Blok Masela, sebuah lapangan lepas pantai di Laut Arafura. Tentu pengembangan blok tersebut membutuhkan modal, teknologi dan pengalaman yang tentu dimiliki oleh Inpex dan Shell.

BP, perusahaan asal Inggris, juga beroperasi di Papua dengan mengembangkan proyek BP Tangguh. Lebih awal dari perusahaan itu, Total E&P Indonesie, perusahaan migas raksasa asal Perancis juga telah lama hadir di Indonesia dengan mengembangkan Blok Mahakam, bermitra dengan Inpex Corporation.

Pertamina, perusahaan minyak dan gas milik pemerintah, kini juga namanya dipertaruhkan untuk mengembangkan Blok East Natuna. Pertamina memimpin konsorsium yang beranggotakan ExxonMobil, Total EP Indonesie serta PTTEP Thailand. Pertamina dan Exxon memiliki 35% hak partisipasi (participating interest/PI), sedangkan PTTEP dan Total masing-masing memiliki 15%. ExxonMobil akan menjadi operator saat 10 tahun fase eksplorasi, sedangkan Pertamina menjadi operator saat masa produksi selama 40 tahun.

Isu utama bagi Indonesia adalah bagaimana menjamin ketersediaan energi di masa datang (energy security). Untuk menjamin ketersediaan energi, maka Indonesia membutuhkan best players di industri migas. Dan best players itu sudah berada di Indonesia, tinggal bagaimana pemerintah menggandeng perusahaan-perusahaan dunia tersebut agar mendukung upaya pemerintah memproduksi minyak dan gas bumi, demi terjaminnya suplai energi dimasa datang.

Bagi Indonesia saat ini yang terpenting adalah menjamin ketahanan energi. Maka isu nasionalisasi yang dihembuskan oleh sebagian elemen masyarakat menjadi tidak relevan. Mengingat besarnya kebutuhan investasi, maka Indonesia harus tetap menunjukkan bahwa Indonesia tidak anti-asing. 
Prabowo Subianto (http://goo.gl/YjjC1o) sebagai bakal calon presiden dari Partai Gerindra baru-baru ini juga menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan nasionalisasi migas. Prabowo mengatakan berbuat untuk kepentingan nasional Indonesia sangat berbeda dengan nasionalisasi. Ia menekankan lebih penting bekerja untuk kepentingan nasional daripada menasionalisasi industri migas. (*)




2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Artikel yg mencerahkan. Bagi pelaku industri tentu yg terpenting adalah ketersedian energi yang berkesinambungan. Bila energi terputus, maka usaha mereka terganggu alias berhenti. Konsumen tdk persoalkan siapa yg memproduksi, tp yg terpenting energi yg dibutuhkan tersedia dan berkelanjutan.

    BalasHapus