Selasa, 10 Februari 2015

Mobil Nasional Indonesia Rasa Malaysia

mobil nasional?
Berita tentang perginya Jokowi ke Malaysia yang ternyata untuk melakukan penandatanganan MoU antara Proton Malaysia dan sebuah perusahaan Indonesia untuk penyusunan studi kelayakan pengembangan mobil nasional Indonesia mencuri perhatian publik.

Persoalan mobil nasional selalu menarik perhatian karena sekurangnya tiga alasan pokok.

Pertama, argumen bahwa negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kelompok kelas menengah yang semakin dominan, serta pendapatan masyarakat yang menaik secara gradual haruslah memiliki industri otomotif yang memiliki label 'nasional' atau milik Indonesia dengan berbagai atributnya.

Kedua, mendorong keberadaan mobil sebagai sarana transportasi memiliki paradoks terhadap upaya pemerintah dan khususnya Presiden Jokowi mendorong angkutan umum. Pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita begitu terkesan dengan ucapannya, "Kita butuh transportasi murah, bukan mobil murah!"

Harga murah yang terjadi bukan karena efisiensi di sektor produksi, melainkan pengurangan pajak yang seharusnya menjadi hak masyarakat yang lebih luas.

Ketiga, upaya mendorong industri otomotif memiliki pendukung yang fanatik karena sektor itu menjadi penghela pertumbuhan ekonomi nasional. Industri otomotif itu dipromosikan sebagai sektor yang tahan terhadap dinamika ekonomi regional global. Produsen otomotif di Indonesia yang tergabung dalam Gaikindo merupakan proponen dari argumen itu karena jelas memengaruhi keberlangsungan bisnis mereka.

Apa reaksi masyarakat Indonesia terhadap berita penandatanganan MoU antara Proton dan perusahaan Indonesia?

Tidak ada antusiasme yang menggelora. Tidak ada penolakan yang kritis dari para ahli transportasi dan pakar lingkungan. Tidak ada komentar keras, baik yang mendukung atau menolak dari kelompok produsen otomotif.

Semua pihak memberikan tanggapan normatif dan dugaan saya, media akan membiarkan berita tersebut berlalu tanpa kesan. Semua terlihat biasa-biasa saja.

Ada fenomena menarik yang kita lihat dari kondisi ini. Sebagai mazhab pembangunan, barangkali pandangan politik yang diwujudkan dengan produk yang berbau 'nasional' tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat. Bagi masyarakat yang rasional, yang paling penting bagi mereka ialah produk yang bermanfaat dengan biaya yang sesuai dengan daya beli.

Nasionalisme tidak lagi berwujud dalam bentuk fisik karena masyarakat menyadari produksi barang dilakukan dengan sistem global supply chain. Para ahli transportasi apatis dengan berbagai rencana pemerintah yang seolah menjalankan kebijakan yang paradoksal. Ketika upaya mendorong penggunaan angkutan umum dipandang kurang progresif, upaya merasionalkan pemanfaatan kendaraan pribadi seolah macet di tengah jalan.

Menarik bahwa masyarakat kita akhirnya bisa lepas dari sentimen nasionalisme dan lebih memilih untuk menjadi rasional. Apabila kita kaitkan dengan sektor migas Indonesia, tentunya hal ini akan menjadi lebih menarik lagi. Sentimen-sentimen nasionalisme yang kemudian bisa menyebabkan terhambatnya produksi migas di Indonesia harus ditinggalkan.

Seperti di Blok Mahakam misalnya, apabila masyarakat memang rasional, tentunya tidak akan membiarkan Pertamina sendirian dalam mengelola blok tersebut. Kerjasama dengan Total E&P yang selama ini mengelola blok tersebut akan menjadi pilihan yang lebih rasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar