Rabu, 19 Februari 2014

Produksi Minyak Indonesia vs Produksi 'Koruptor'

Sebuah anjungan minyak-gas lepas pantai
Indonesia sedang darurat energi. Kita kembali diingatkan oleh fakta baru yang dikeluarkan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dua hari lalu. Produksi minyak awal tahun ini di bawah target pemerintah, padahal target tersebut sudah diturunkan.

DPR sebenarnya menetapkan target lifting minyak 870.000 bph, namun pemerintah kemudian hanya menyanggupi dapat memenuhi target 804.000 bph, berdasarkan masukan dan kesanggupan dari para produsen minyak atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Namun, pada awal tahun ini, target rata-rata produksi harian tersebut di bawah target.

Kepala SKK Migas J. Widjanarko mengungkapkan produksi minyak Indonesia hingga 12 Februari 2014 hanya mencapai 790.314 barel per hari (bpd), di bawah target SKK Migas sebesar 803.8270 bph. Ia memang mengharapkan produksi bakal naik pada bulan November saat produksi minyak Cepu dari fasilitas-fasilitas baru yang dibangun mulai beroperasi.

Namun, tetap saja gejala dan tanda-tanda awal tahun ini perlu menjadi pendorong (trigger) bagi pemerintah, DPR dan pelaku industri serta pihak-pihak yang terkait dengan industri ini untuk mengambil langkah segera agar produksi minyak Indonesia tidak terjun bebas (freefall). 

SKK Migas beralasan produksi turun akibat mayoritas blok Migas Indonesia saat ini sudah tua atau uzur. Tidak heran bila produksi dari lapangan-lapangan tua tersebut menurun secara alamiah. Kata Widjanarko saat ini produksi minyak Indonesia menurun secara alamiah sebesar 3 persen setiap tahun. Diharapkan pihaknya dan pelaku industri dapat menahan laju penurunan agar tidak melebihi angka itu. 

Tentu ini menjadi tantangan besar dan berat bila kita melihat berbagai tantangan yang dihadapi oleh pelaku industri migas saat ini. Tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait masalah-masalah teknis yang terkait dengan operasional sebuah blok, tapi juga tantangan atau masalah non-teknis seperti lingkungan operasional yang tidak bersahabat, masalah perizinan, birokrasi, dan lainnya.

Sebagai contoh, Blok Cepu. Seharusnya blok ini sudah memasuki produksi puncak tahun 2013 lalu, namun, kemudian mundur ke 2014. Persoalan yang dihadapi blok Cepu cukup banyak, mulai dari masalah pembebasan lahan yang bertahun-tahun, molornya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah lokal terkait pembangunan fasilitas-fasilitas produksi, dll.

Widjanarko juga mengungkapkan produksi minyak turun di bawah 800.000 bph karena cuaca. Padahal, setiap tahun terjadi cuaca yang tidak bersahabat setiap awal tahun, sehingga seharusnya masalah cuaca tidak menjadi alasan. Kalaupun ada gangguan, seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah (ESDM & SKK Migas) dan para pelaku. Kita berharap para produsen minyak dapat mengkompensasi penurunan produksi pada awal tahun ini dengan peningkatan produksi pada bulan-bulan mendatang, sehingga target produksi tercapai.

Bagaimana masa depan produksi minyak Indonesia? Satu hal yang pasti, era minyak murah sudah lewat. Eksplorasi dan produksi minyak tidak lagi mudah dan murah seperti pada masa-masa sebelumnya. Blok onshore/daratan seperti Cepu sudah sulit ditemukan lagi. Kalaupun ada, maka besar cadangan tidak sebesar blok Cepu. 

Potensi cadangan minyak dan gas bumi Indonesia sudah bergerak ke lepas pantai dan laut dalam atau daerah-daerah frontier, yang sulit dijangkau. Karena itu, butuh upaya yang lebih keras lagi untuk mendorong investor/produsen migas masuk ke daerah-daerah frontier tersebut.

Pemerintah perlu bekerjasama dengan pihak industri atau pelaku-pelaku industri migas mencari jalan keluar agar investasi migas, baik untuk eksplorasi maupun produksi dapat meningkat lagi. Pemerintah seharusnya tidak terlena dengan agenda politik 5 tahunan, yakni pemilihan umum untuk memilih Presiden-Wakil Presiden dan anggota Parlemen (DPR).

Cukup banyak isu yang perlu dicarikan jalan keluarnya bersama pelaku industri, termasuk masalah pajak, isu cost recovery yang kembali mencuat, skema production sharing contract, isu ketenagakerjaan, perizinan, dan lain-lain. Belum lagi adanya arogansi kekuasaan di tingkat daerah, yang terkadang menghambat perusahaan migas menjalankan roda usahanya dalm memproduksi minyak dan gas bumi.

Ironinya, saat produksi minyak Indonesia terus turun, tingkat korupsi malah meningkat dan semakin merajalela. Banyak kasus-kasus muncul ke permukaan yang menyeret para pejabat, pelaku industri, pejabat daerah, anggota DPR dan DPRD serta lembaga-lembaga tinggi negara. Sepertinya, setiap hari kini media-media, cetak maupun online dan elektronik (TV) menyuguhkan berita-berita korupsi, gratifikasi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Tantangan Indonesia kedepan adalah agar bagaimana kondisi ini dapat dibalik, yakni produksi minyak dan gas bumi dapat meningkat dan praktek-praktek korupsi dan gratifikasi dapat turun dan dihilangkan dari bumi pertiwi. Bayangkan bila seluruh hasil SDA Indonesia dikelola dengan baik, tidak ditilep sana-sini a.k.a. dikorupsi, tidak ada lagi rakyat Indonesia yang hidup berkubang dalam kemiskinan. 

Indonesia perlu meningkatkan investasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi (eksplorasi). Hanya dengan meningkatnya kegiatan eksplorasi, cadangan minyak kita meningkat. Bila cadangan meningkatkan, produksi minyak dan gas dapat kembali meningkat, atau paling tidak, bertahan dan tidak terjun bebas seperti saat ini. Jangan sampai cadangan migas menurun terus, tapi cadangan dan bibit-bibit koruptor malah meningkat. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar