Kota Riau dikepung asap |
Cukup
banyak penumpang yang kini terjebak dan tidak bisa bepergian. Bahkan ada
beberapa pejabat pemerintah yang saat ini berada di Padang belum bisa kembali
ke Jakarta. Rupanya, asap yang tadinya berpusat di provinsi Riau telah mengirim
asap ke provinsi-provinsi tetangga seperti Sumatra Barat dan Jambi. Kita
sebagai warga negara tentu sangat prihatin dengan kondisi di Riau. Prihatin
karena kita punya sahabat, teman, keluarga atau rekan kerja yang kini tak bisa
berbuat apa-apa, hanya berdoa dan menunggu asap itu pergi, tapi kapan?
Masalah asap di Riau dan
sekitarnya seharusnya bukan lagi menjadi masalah daerah tapi masalah nasional. Mengapa?
Pertama, asap yang tebal dalam jangka waktu yang lama sangat berbahaya bagi
kesehatan. Bila tak tertangani dan terus berlangsung maka akan menyebabkan
penyakit Ispa dan penyakit lain yang mengancam jiwa manusia.
Perkantoran Gubernur Riau |
Tidak
salah bila masyarakat dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan migas dan
industri lain di Riau kini berteriak. Ada yang bahkan menulis surat kepada
Presiden SBY. Isinya keluhan bahwa “titik api yang ada di Riau bukanlah simbol
kemarahan Tuhan, tapi simbol keserakahan dan bukti ketidakpedulian Negara,
bukti kepongahan Jakarta terhadap daerah. Bapak mau kesenini sekarang? Bandara
ditutup pak, lagi pula tidak ada anak sekolah yang akan menyambut bapak.
Sekolah telah diliburkan. Mau menempuh jalur darat? Bahaya pak, asap tebal
tidak bagus buat kesehatan Bapak dan Ibu Ani, lagian tidak bagus untuk obyek
foto untuk Instgram,” demikian isi celotehan pekerja tersebut yang dimuat di
dinding wall facebooknya.
Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan mengungkapkan,
departemennya terpaksa membatalkan 58 penerbangan ke Riau untuk menghindari
hal-hal yang tidak dinginkan. Pasalnya kondisi jarak pandang sudah membahayakan
dan tidak mungkin dilakukan penerbangan.
Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan titik panas atau
hotspot masih cukup banyak tersebar di beberapa provinsi di Sumatera bagian
utara. Berdasarkan hasil pantauan hotspot tanggal 12 Maret 2014, berdasarkan
data saetlit NOAA18, hot spot terbanyak berada di Riau (46 hotspot, disusul Jambi
(21 hot spot), Aceh (14), Kepulauan Riau (8), Sumatera Utara (5), Sumatera
Sealtan dan Babel (2 hotspot) dan Lampugn (1).
Ada beberapa kawasan konservasi yang juga dideteksi adanya
hotspot, yaitu, 3 hotspot di Tahura, sekitar Tanjung Jambi, 4 hotspot di TN
Berbak Jambi, 6 hotspot di TN Gunung Leuser Aceh dan 2 hotspot di TN Nesso Nilo
Riau.
Kita sebagai warga negara tentu sangat prihatin dengan
kepungan asap di Sumatra tersebut. Pemerintah pusat perlu segara mengambil
tindakan lebih serius lagi untuk mengatasi asap di Riau. Disamping jutaan
manusia yang terancam jiwanya, asap yang berkepanjangan bukan tidak mungkin
akan mengancam jalannya proses Pemilihan Legislatif 9 April mendatang. Perjalanan logistik Pemilu
bakal terancam. Para calon legislatif (Caleg) mungkin sulit untuk menemui
konstituen mereka. Mereka memang tidak perlu menemui konstituen bila asap masih
mengepung Riau dan sekitarnya. Sudah cukup bila para caleg menekan pemerintah
untuk mengatasi asap di Riau. Maka itu sudah cukup bagi warga di Riau dan
sekitarnya untuk mencoblos atau menentukan pilihan mereka.
Asap di Riau juga seharusnya menjadi lecutan bagi para Caleg
untuk lebih care dan punya perhatian
lebih terhadap lingkungan hidup. Mereka harus menekan pemerintah pusat dan
daerah untuk menghukum perusahaan-perusahaan atau warga yang terlibat aksi
pembakaran hutan atau menyebabkan timbulnya hotspot. Jangan lupa, asap yang terjadi saat ini, bukan kali saja terjadi. Sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Persoalannya memang kompleks, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar