Pada bulan September 2013, Harison
Ford, aktor kawakan Hollywood yang populer melalui film Indiana Jones dan Star
Wars, sempat menyedot perhatian publik karena berulah saat melakukan interview
dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ford dilaporkan melompat-lompat di
atas meja lobby Menteri sebagai ekspresi kekecewaannya atas kerusakan hutan
yang masif di Indonesia sehingga merusak hutan alam dan hutan lindung serta
satwa liar yang menghuni hutan tersebut.
Salah seorang staf ahli Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief, menuduh Ford dan crew film telah
melakukan ‘penghinaan’ terhadap lembaga pemerintah, dalam hal ini, Kementrian
kehutanan, dan mengancam akan mendeportasi Ford. Menteri Kehutanan menyesalkan
karena Ford tidak memberikan pertanyaan sebelum melakukan wawancara sehingga
Menteri memilik waktu yang cukup untuk menyiapkan jawaban. Ford dianggap membobardir
Menteri Zulkifli dengan rentetan pertanyaan tanpa memberi waktu cukup kepada Menteri Zulkifli untuk menjelaskan duduk persoalan.
Tetapi kemudian Ford diberi
kesempatan untuk beraudiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat pertemuan
tersebut, Ford mengekspresikan kekhawatirannaya aas kerusakan lingkungan yang
masif, khususnya kerusakan hutan alam di Indonesia yang kian mengkhawatirkan.
Presiden SBY pun menjelaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga laut
dan hutan.
Kedatangan Ford di Indonesia
merupakan bagian dari proses pembuatan film dokumentari tentang kerusakan
hutan, yang kabarnya akan ditayangkan ke publik bulan April 2014 ini. Ford
membuat film dokumentasi, khususnya kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso
Nilo, Sumatera.
Kekecewaan dan kekhawatiran Ford sebenarnya menggambarkan kekhawatiran dunia dan masyarakat Indonesia atas kerusakan hutan alam di Indonesia, yang terjadi secara luas dalam 1-2 dekade terakhir. Bukan hanya Ford yang menunjukkan kekhawatiran. Sebagian lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun kelompok-kelompok masyarakat telah menyampaikan kekhawatirannya dengan cara masing-masing atas berkurangnya hutan alam di Indonesia. Berkurangnya an rusaknya hutan alam di Indonesia terjadi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Hal ini terjadi di Kalimantan dan Sumatera.
Data dari Forest Watch yang dimuat
dalam buku Potret Keadaan Hutan di
Indonesia , Periode 2000-2009 menunjukkan
deforestation yang luas terjadi antara tahun 2000-2009. Laporan tersebut
diterbitkan tahun 2011. Dan tampaknya kerusakan hutan terus terjadi hingga saat
ini.
Menurut data tersebut, selama
periode tersebut, Indonesia kehilangan kawasan hutan alam seluas 15.16 juta
hectar. Kalimantan menjadi penyumbang deforestation
seluas 5.50 juta hektar atau 36.32 persen dari total kawasan hutan yang hilang
atau rusak. Kerusakan hutan terjadi baik di Areal Penggunaan Lain (APL), hutan
lindung maupun hutan konservasi, serta di lahan gambut.
Per tahun 2009, luas hutan Indonesia
mencapai 88,17 juta hektar atau sekitar
46,33 persen dari luas daratan Indonesia. Sekitar 38,72 persen dari hutan
tersebut berada di Papua. Boleh jadi, luas hutan tersebut kini jauh berkurang
lagi akibat rusak dan berkurangnya hutan di Indonesia.
Penyebab utama dari berkurangnya dan
rusaknya hutan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain,
kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan untuk
memperluas perkebunan kelapa sawit, karet dan lain-lain, izin pemanfaatan lahan
hutan untuk pertambangan, pengembangan hutan tanaman industri serta perambahan
hutan atau illegal logging.
Deforestation juga terjadi di
kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilakukan
oleh perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan. Mereka memanfaatkan
izin tersebut untuk memotong kayu-kayu di hutan alam dalam wilayah konsesi
mereka untuk kemudian diganti dengan tanaman lain seperti karet, akasia dan
lain-lain.
Yang jelas, kawasan Hutan Lindung,
Kawasan Konservasi dan kawasan fungsi lindung lainnya di Indonesia baik di
Jambi, Riau dan kawasan Sumatera lainnya, maupun Kalimantan menghadapi masalah
yang sama, yaitu ketidakseriusan negara, dalam hal ini, Kementerian Kehutanan dalam
mengelola kawasan-kawasan tersebut.
Berbagai kawasan hutan lindung dan konservasi malah dikonversi dan
dimanfaatkan dengan dalil untuk membangun ekonomi. Perusahaan-perusahaan
membutuhkan lahan-lahan untuk perkebunan, sehingga membuat pemerintah
mengeluarkan berbagai izin dalam 10 tahun terakhir.
Sebuah kawasan hutan misalnya dapat
meminta Izin Pinjam Pakai kawasan hutan dan diubah menjadi Areal Penggunaan
Lain (APL) untuk kemudian diberikan ke pihak swasta berupa Hak Guna Usaha
(HGU). Hanya kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi yang didukung oleh
lembaga-lembaga internasional saja yang masih terpelihara dengan baik saat ini.
Pengurangan dan perusakan hutan
lebih diperparahkan dengan adanya kongkalikong antara pengusaha dan pihak
pemerintah/pemberi izin. Terkadang izin pemanfaatan lahan diberikan tanpa
melalui proses yang benar. Di Jambi, misalnya, Taman Nasional Bukit Tigah Puluh
yang menjadi habitat berbagai satwa liar dengan hutan yang masih alami terancam
akibat kehadiran perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang berada di kawasan
penyanggah hutan.
Perusahaan-perusahaan yang memegang izin tersebut terkadang membuka lahan dengan cara membakar, walau cara itu sudah dilarang. Terkadang perusahaan mencari cara dengan membayar pihak ketiga sehingga yang disalahkan adalah orang suruhan tadi. Beberapa aktivits lingkungan yang memantau dilapangan mengamini modus tersebut. Penyebab asap yang lain adalah terbakarnya lahan gambut setelah lahan basah gambut tersebut dikeringkan untuk kemudian ditanami. Terkadang asap disengaja tapi bisa juga akibat teriknya panas matahari yang memantik kebakaran.
Perusahaan-perusahaan yang memegang izin tersebut terkadang membuka lahan dengan cara membakar, walau cara itu sudah dilarang. Terkadang perusahaan mencari cara dengan membayar pihak ketiga sehingga yang disalahkan adalah orang suruhan tadi. Beberapa aktivits lingkungan yang memantau dilapangan mengamini modus tersebut. Penyebab asap yang lain adalah terbakarnya lahan gambut setelah lahan basah gambut tersebut dikeringkan untuk kemudian ditanami. Terkadang asap disengaja tapi bisa juga akibat teriknya panas matahari yang memantik kebakaran.
Bila kita menelusuri lebih jauh, ternyata perusahaan-perusahaan HTI maupun perkebunan tersebut disokong oleh tokoh-tokoh yang memiliki link dengan kekuasaan. Tak heran bila kita melihat pensiuan jenderal duduk atau memegang posisi komisaris di perusahaan-perusahaan tersebut. Praktek-praktek seperti ini lumrah, ada hubungan mutual atau saling menguntungkan antara pemilik modal dan pemilik kekuasaan. Akibatnya, perusakan hutan tak terkendali. Sebagai contoh, ketika terjadi asap di Riau dan Jambi saat ini, sebagian asap dan kebakaran terjadi di perkebunan-perkebunan maupun di hutan tanaman industri. Tapi yang ditangkap oleh aparat hanya 1-2 perambah kelas teri, tapi korporasi besar tak tersentuh.
Walaupun Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pergi ke Riau untuk meninjau langsung upaya pemadaman asap, itu tak
lebih dari gesture perhatian
Presiden. Tapi sama seperti kasus-kasus lainnya, pernyataan keras Presiden hanya
indah di atas kertas, tapi tidak diterapkan dan dilakukan secara konkrit di
lapangan. Lihat saja, berapa luas hutan yang rusak dalam 10 tahun terakhir.
Kita akan mendapatkan jawabannya betapa kita, bangsa Indonesia, telah merusak
hutan. Merusak hutan berarti merusak masa depan bangsa ini, masa depan anak
cucu kita, bahkan masa depan dunia karena hutan-hutan tropis di Indonesia
dianggap sebagai paru-paru dunia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar