Selasa, 18 Maret 2014

Harison Ford, Kerusakan Hutan Tropis Indonesia, Bencana Asap & Years of Living Dangerously



Pada bulan September 2013, Harison Ford, aktor kawakan Hollywood yang populer melalui film Indiana Jones dan Star Wars, sempat menyedot perhatian publik karena berulah saat melakukan interview dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ford dilaporkan melompat-lompat di atas meja lobby Menteri sebagai ekspresi kekecewaannya atas kerusakan hutan yang masif di Indonesia sehingga merusak hutan alam dan hutan lindung serta satwa liar yang menghuni hutan tersebut.

Salah seorang staf ahli Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Arief, menuduh Ford dan crew film telah melakukan ‘penghinaan’ terhadap lembaga pemerintah, dalam hal ini, Kementrian kehutanan, dan mengancam akan mendeportasi Ford. Menteri Kehutanan menyesalkan karena Ford tidak memberikan pertanyaan sebelum melakukan wawancara sehingga Menteri memilik waktu yang cukup untuk menyiapkan jawaban. Ford dianggap membobardir Menteri Zulkifli dengan rentetan pertanyaan tanpa memberi waktu cukup kepada Menteri Zulkifli untuk menjelaskan duduk persoalan.

Tetapi kemudian Ford diberi kesempatan untuk beraudiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat pertemuan tersebut, Ford mengekspresikan kekhawatirannaya aas kerusakan lingkungan yang masif, khususnya kerusakan hutan alam di Indonesia yang kian mengkhawatirkan. Presiden SBY pun menjelaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga laut dan hutan.

Kedatangan Ford di Indonesia merupakan bagian dari proses pembuatan film dokumentari tentang kerusakan hutan, yang kabarnya akan ditayangkan ke publik bulan April 2014 ini. Ford membuat film dokumentasi, khususnya kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, Sumatera.

Kekecewaan dan kekhawatiran Ford sebenarnya menggambarkan kekhawatiran dunia dan masyarakat Indonesia atas kerusakan hutan alam di Indonesia, yang terjadi secara luas dalam 1-2 dekade terakhir. Bukan hanya Ford yang menunjukkan kekhawatiran. Sebagian lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun kelompok-kelompok masyarakat telah menyampaikan kekhawatirannya dengan cara masing-masing atas berkurangnya hutan alam di Indonesia. Berkurangnya an rusaknya hutan alam di Indonesia terjadi akibat perluasan perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Hal ini terjadi di Kalimantan dan Sumatera.

Data dari Forest Watch yang dimuat dalam buku Potret Keadaan Hutan di Indonesia , Periode 2000-2009 menunjukkan deforestation yang luas terjadi antara tahun 2000-2009. Laporan tersebut diterbitkan tahun 2011. Dan tampaknya kerusakan hutan terus terjadi hingga saat ini.
Menurut data tersebut, selama periode tersebut, Indonesia kehilangan kawasan hutan alam seluas 15.16 juta hectar. Kalimantan menjadi penyumbang deforestation seluas 5.50 juta hektar atau 36.32 persen dari total kawasan hutan yang hilang atau rusak. Kerusakan hutan terjadi baik di Areal Penggunaan Lain (APL), hutan lindung maupun hutan konservasi, serta di lahan gambut.

Per tahun 2009, luas hutan Indonesia mencapai 88,17 juta hektar  atau sekitar 46,33 persen dari luas daratan Indonesia. Sekitar 38,72 persen dari hutan tersebut berada di Papua. Boleh jadi, luas hutan tersebut kini jauh berkurang lagi akibat rusak dan berkurangnya hutan di Indonesia.

Penyebab utama dari berkurangnya dan rusaknya hutan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, kebijakan pemerintah yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan untuk memperluas perkebunan kelapa sawit, karet dan lain-lain, izin pemanfaatan lahan hutan untuk pertambangan, pengembangan hutan tanaman industri serta perambahan hutan atau illegal logging.

Deforestation juga terjadi di kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan. Mereka memanfaatkan izin tersebut untuk memotong kayu-kayu di hutan alam dalam wilayah konsesi mereka untuk kemudian diganti dengan tanaman lain seperti karet, akasia dan lain-lain.

Yang jelas, kawasan Hutan Lindung, Kawasan Konservasi dan kawasan fungsi lindung lainnya di Indonesia baik di Jambi, Riau dan kawasan Sumatera lainnya, maupun Kalimantan menghadapi masalah yang sama, yaitu ketidakseriusan negara, dalam hal ini, Kementerian Kehutanan dalam mengelola kawasan-kawasan tersebut.  Berbagai kawasan hutan lindung dan konservasi malah dikonversi dan dimanfaatkan dengan dalil untuk membangun ekonomi. Perusahaan-perusahaan membutuhkan lahan-lahan untuk perkebunan, sehingga membuat pemerintah mengeluarkan berbagai izin dalam 10 tahun terakhir.

Sebuah kawasan hutan misalnya dapat meminta Izin Pinjam Pakai kawasan hutan dan diubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk kemudian diberikan ke pihak swasta berupa Hak Guna Usaha (HGU). Hanya kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi yang didukung oleh lembaga-lembaga internasional saja yang masih terpelihara dengan baik saat ini.

Pengurangan dan perusakan hutan lebih diperparahkan dengan adanya kongkalikong antara pengusaha dan pihak pemerintah/pemberi izin. Terkadang izin pemanfaatan lahan diberikan tanpa melalui proses yang benar. Di Jambi, misalnya, Taman Nasional Bukit Tigah Puluh yang menjadi habitat berbagai satwa liar dengan hutan yang masih alami terancam akibat kehadiran perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang berada di kawasan penyanggah hutan.

Perusahaan-perusahaan yang memegang izin tersebut terkadang membuka lahan dengan cara membakar, walau cara itu sudah dilarang. Terkadang perusahaan mencari cara dengan membayar pihak ketiga sehingga yang disalahkan adalah orang suruhan tadi. Beberapa aktivits lingkungan yang memantau dilapangan mengamini modus tersebut. Penyebab asap yang lain adalah terbakarnya lahan gambut setelah lahan basah gambut tersebut dikeringkan untuk kemudian ditanami. Terkadang asap disengaja tapi bisa juga akibat teriknya panas matahari yang memantik kebakaran.


Bila kita menelusuri lebih jauh, ternyata perusahaan-perusahaan HTI maupun perkebunan tersebut disokong oleh tokoh-tokoh yang memiliki link dengan kekuasaan. Tak heran bila kita melihat pensiuan jenderal duduk atau memegang posisi komisaris di perusahaan-perusahaan tersebut. Praktek-praktek seperti ini lumrah, ada hubungan mutual atau saling menguntungkan antara pemilik modal dan pemilik kekuasaan. Akibatnya, perusakan hutan tak terkendali. Sebagai contoh, ketika terjadi asap di Riau dan Jambi saat ini, sebagian asap dan kebakaran terjadi di perkebunan-perkebunan maupun di hutan tanaman industri. Tapi yang ditangkap oleh aparat hanya 1-2 perambah kelas teri, tapi korporasi besar tak tersentuh.

Walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pergi ke Riau untuk meninjau langsung upaya pemadaman asap, itu tak lebih dari gesture perhatian Presiden. Tapi sama seperti kasus-kasus lainnya, pernyataan keras Presiden hanya indah di atas kertas, tapi tidak diterapkan dan dilakukan secara konkrit di lapangan. Lihat saja, berapa luas hutan yang rusak dalam 10 tahun terakhir. Kita akan mendapatkan jawabannya betapa kita, bangsa Indonesia, telah merusak hutan. Merusak hutan berarti merusak masa depan bangsa ini, masa depan anak cucu kita, bahkan masa depan dunia karena hutan-hutan tropis di Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar