Rabu, 11 Juni 2014

Prabowo Salahkan Gaji Rendah Sebagai Penyebab Korupsi di Indonesia, Benarkah?


Sesi pertama debat Calon Presiden-Calon Wail Presiden (Capres dan Cawapres) Senin malam membahas tiga tema utama, pembangunan demokrasi, reformasi birokrasi dan pembangunan hukum. Ketiga-tiganya penting. Kedua pasangan Capres-Cawapres telah memaparkan visi dan misi mereka terkait ketiga hal tersebut. Reaksi masyarakat pun bermacam-macam, namun secara umum perdebatan pertama tampaknya Joko Widodo lebih unggul dibanding pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dari berbagai aspek, baik dari aspek penguasaan panggung, penguasaan materi, relasi dengan penonton (komunikatif) maupun dari segi konten.

Sesi debat Calon Presiden-Calon Wail Presiden Senin malam lalu memancing diskusi dan perdebatan di publik, baik di media-media arus utama maupun di media-media sosial. Salah satu masalah yang dibahas adalah masalah korupsi. Yang menarik perhatian publik, pandangan dan pernyataan kontroversial Capres Prabowo Subianto terkait kasus korupsi yang mewabah di tanah air dan cara mengatasinya.

Menurut Prabowo Subianto, masalah korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kurangnya apresiasi terhadap pejabat atau aparatur negara negara. Dia mengakui masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah korupsi, kinerja pemerintah yang tidak maksimal, dan rasa keadilan bagi kaum yang berkecukupan.

Untuk mengatasi korupsi, maka pertama yang dilakukan adalah mengurangi kebocoran-kebocoran. Dengan mengurangi kebocoran, maka pemerintah punya dana yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup aparatur negara.

Berikut cuplikan pernyataan Prabowo Subianto terkait penanganan masalah korupsi:

“Memang kita rasakan, inilah kelemahan bangsa kita sekarang. Korupsi, kinerja pemerintah yang kurang maksimal dan keadilan hanya bagi yang kuat dan kaya. Bagi kami, ini suatu akibat dari kebocoran-kebocoran kekayaan nasional yang besar. Dengan kobocoran-kebocoran yang besar yang diakibatkan oleh masalah sistemik, akhirnya tidak ada sumber daya yang cukup untuk menjamin kualitas hidup aparat negara yang menjamin jalannya pemerintahan. Artinya, korupsi terjadi di Indonesia karena pejabat-pejabat yang berkuasa di Indonesia, takut, takut pensiun. Umpanya gaji 6-7 juta rupiah, padahal saat kampanye, misalnya, dia habiskan Rp 15 miliar. Akibatnya, dia akan ambil dari APBN. Menteri juga begitu. Gajinya Rp 18 juta, padahal tanggungjawabnya besar. Karena kualitas hidup, sistem demokrasi kita yang liberal mewajibkan pemimpin politik untuk cari uang untuk melakukan kampanye politik. Sehingga dia andalkan kader di DPR dan di Kementerian.

Itulah maka elit, pemerintah lengah, sumber daya alam terlalu banyak mengalir ke luar negeri. Nah, kalau mau perbaiki atau kurangi korupsi, kita harus menjamin kualitas hidup aparatur negara. Hakim, polisi, jaksa, semua penegak hukum, semua pejabat di tempat-tempat penting harus dijamin kualitas hidupnya. Sebagai contoh hakim agung di inggris, gaji terbesar, lebih besar daripada PM. Kita mau perbaiki. Kami ingin pertama menutup kebocoran. Kita kalau bicara ingin memperbaiki ini, itu, ujung-ujungnya urusan duit. Karena itu, penegak-penegak hukum harus ditingkatkan kemampuan manajerial dan teknisnya. Ini semua butuh dana besar.

Kemudian rekruitmen. Kita rekrut orang terbaik, menggunakan teknologi informasi terbaru, seperti e-government,  dan lain-lain, untuk mengurangi kebocoran-kebocoran. Sebanyak mungkin kita menggunakan teknologi informatika untuk mengurangi kebocoran-kebocoran itu. Dengan mengurangi kebocoran-kebocoran itu, kita punya dana untuk memperbaiki kualitas hidup, baru kit abisa ciptakan pemerintah bersih, bebas dari korupsi, yang brkinerja tinggi, yang melindungi dan melayani rakyatknya.”


Gaji Bukan Penyebab

Pernyataan Prabowo memancing reaksi masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka adalah, benarkah gaji yang kurang menjadi faktor utama terjadinya korupsi? Benarkah sistem demokrasi yang mahal, yang membuat para politisi keluarkan dana besar untuk kampanye untuk mendapatkan posisi sebagai pejabat publik seperti Bupati, Gubernur, DPR dan pejabat-pejabat lain? Secara tidak langsung Prabowo juga menyinggung seorang Presiden mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan posisi sebagai Presiden, seperti yang dia jalankan saat ini.

Mungkin pertanyaan tersebut diajukan kepada para aparatur negara, baik yang jujur, bersih dan menjalankan tugas dan amanahnya sebagai pelayan rakyat maupun mereka yang terlibat kasus korupsi. Bila kita menanyakan ke aparatur negara yang jujur dan bersih, mereka akan mengatakan tidak setuju. Tidak adil juga bila kita langsung menganggap pegawai yang bergaji rendah akan korupsi. Stigma seperti tepat.

Bila kita menanyakan pertanyaan yang sama kepada para aparatur negara yang korup, yang terlibat kasus korupsi, kita mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti. Yang jelas, justru pejabat yang bergaji tinggi dan punya posisi penting, yang terlibat korupsi. Lihat saja, Akil Mochtar, Ketua MK, yang kini ditahan KPK, mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, mantan Menpora Andi Malarangeng, mantan menteri Agama Surya Dharma Ali yang kini jadi tersangka kasus korupsi di Kementerian Agama, dan masih banyak lagi. Hampir pasti, gaji yang rendah menjadi faktor utama mereka korupsi, karena mereka mendapatkan gaji besar dan fasilitas negara yang jauh lebih tinggi dibanding aparat negara biasa lainnya.

Dengan demikian, pernyataan Capres Prabowo Subianto dengan menyalahkan gaji rendah sebagai penyebab korupsi terbantahkan dan hanya menyederhanakan persoalan. Seseorang menjadi aparatur negara karena dia tahu dia akan mendapatkan kompensasi yang teratur setiap bulan hingga pensiun. Dia tahu hak, kewajiban dan konsekuensi menjadi pelayan masyarakat. Bila ingin menjadi kaya dengan cara korupsi, pilihlah profesi lain, misalnya menjadi pengusaha. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar