***
Tantangan bagi perusahaan
minyak dan gas bumi (migas) yang melakukan eksplorasi di lepas pantai di
Indonesia kian sulit. Salah satu masalah utama yang belakangan mencuat kembali
adalah soal pajak bumi dan bangunan yang dikenakan pada kegiatan eksplorasi di
lepas pantai, termasuk investasi pencarian minyak di laut dalam --di atas 500
meter. Pemerintah keukeuh menerapkan
peraturan tersebut, sementara para pelaku industri migas mendesak pemerintah
untuk mencabut peraturan tersebut.
Pengenaan pajak bumi dan
bangunan (PBB) di Wilayah Kerja (WK) atau blok migas diimplementasikan saat
industri migas nasional dalam situasi yang memprihatinkan. Produksi minyak
dalam negeri terus menurun dalam dua dekade terakhir, mulai dari produksi
puncak 1,6 juta tahun 1995 menjadi tinggal 830.000 barel per hari saat ini.
Tingkat penurunan setiap tahun mencapai hingga 12 persen. SKK Migas, regulator
dan pengawas industri migas, terus berusaha untuk menahan laju penurunan produksi
minyak hingga 4 persen, namun hasilnya belum menggembirakan.
Produksi gas bumi saat ini
cenderung stagnan dan diperkirakan akan menurun dalam dekade mendatang bila
saat ini tidak gencar melakukan eksplorasi atau tidak ada tambahan cadangan gas
bumi. Pada satu sisi permintaan dan konsumsi dalam negeri terus meningkat, baik
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) maupun gas bumi. Akibatnya jurang antara
produksi migas dan konsumsi terus melebar. Dampaknya, sangat terasa, terutama
meningkatnya defisit neraca perdagangan (current deficit) Indonesia akibat meningkatnya
impor minyak. Kondisi ini membuat rupiah tertekan, sehingga nilai rupiah kini
melemah ke level Rp12,000 terhada dolar AS, dari sebelumnya Rp9,500-10,000 per
dolar AS.
Pada satu sisi, beberapa
pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Chatib Basri dan pejabat-pejabat
lainnya, mengakui impor minyak yang tinggi telah menekan rupiah dan membuat
neraca perdagangan mengalami defisit. Untuk mengurangi defisit perdagangan dan
mengurangi tekanan pada rupiah, maka tidak ada jalan lain mengurangi impor
minyak, dan pada sisi yang lain meningkatkan produksi dalam negeri serta
mendiversifikasi sumber energi. Meningkatkan produksi, rupanya masih menjadi
wacana atau konsep di atas kertas, karena hal itu sulit dilakukan. Untuk
meningkatkan produksi, cadangan minyak dan gas harus ditemukan.
Karena itu, solusi paling
mendasar dan mendesak saat ini adalah mendorong eksplorasi minyak dan gas bumi.
Tanpa eksplorasi, mustahil ditemukan cadangan migas baru. Tanpa ada penemuan
cadangan baru, maka Indonesia terpaksa hanya memproduksi cadangan yang ada saat
ini, yang notabene merupakan penemuan para pekerja migas beberapa dekade lalu.
Untuk menjamin keberlanjutan produksi dan ketahanan energi masa depan, bagi
generasi berikutnya, maka Indonesia—pemerintah, swasta dan seluruh pemangku
kepentingan harus bersatu hati, satu pikiran dan kemudian menyatukan langkah
untuk mendorong kemajuan industri migas, terutama mendorong kegiatan
ekpslorasi.
Maka tatkala pemerintah keukeuh
mengejakan pajak eksplorasi (PBB), menjadi kontradiksi dengan niat pemerintah
untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Lain di mulut, lain di
tindakan. Ada ketidaksinkronan antara keinginan dan kebijakan yang dikeluarkan.
Contoh nyata, ya itu tadi, pajak eksplorasi. Padahal, bagi perusahaan migas,
eksplorasi itu merupakan kegiatan investasi. Sebuah perjudian atau gamble karena belum tentu ditemukan
cadangan minyak. Dan itu terbukti, tahun 2011, perusahaan eksplorasi migas
mencatat kerugian sekitar US$800 juta karena tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Tahun 2012 lalu juga demikian.
Tahun 2013, ini belasan perusahaan eksplorasi migas menemukan dryhole dan
terpaksa mereka angkat kaki dan menyerahkan kembali blok migas atau WK migas
tersebut ke pemerintah.
Perusahaan-perusahaan migas (Kontrak Kerjasama atau
Production Sharing Contractor/PSC) telah melaporkan penemuan dryhole pada
kegiatan eksplorasi mereka. Diantaranya, Statoil Karama, Talisman Sageri,
Marathon Pasang Kayu, CNOOC Palung Aru, ExxonMobil dan ConocoPhillips.
Belakangan, Niko Resources, perusahaan migas asal Kanada juga gagal menemukan
cadangan migas di beberapa kegiatan pengeboran di lepas pantai dan laut dalam.
Akibatnya, perusahaan tersebut menghentikan sementara
program eksplorasi multi-years di
beberapa blok. Padahal, perusahaan Kanada tersebut merupakan perusahaan migas
yang paling agresif dalam lima tahun terakhir dan tercatat sebagai pemegang WK
lautdalam terbanyak saat ini. Menurut website perusahaan , Niko Resources
memiliki konsesi atau hak kepesertaan di 22 blok migas, dengan kepemilikan
antara 20-100 persen.
Karena itu, dapat dipahami bila
Indonesia Petroleum Association (IPA) mendesak pemerintah untuk mencabut
penganaan pajak eksplorasi PBB) pada kegiatan eksplorasi migas. Direktur
Eksekutif IPA Sammy Hamzah mengatakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menghambat
eksplorasi migas. Alasannya, eksplorasi yang dilakukan belum tentu mendapatkan
hasil, jadi dianggap tidak masuk akal jika sudah harus membayar pajak terlebih
dahulu.
Kita berharap pemerintah
mendengar permintaan pelaku industri migas. Dan, tentu permintaan tersebut juga
untuk kepentingan nasional Indonesia, agar kegiatan eksplorasi migas kembali
bangkit. Semua pihak – pelaku industri migas, pemerintah dan pihak-pihak
terkait lainnya, tentu berkepentingan industri migas nasional berkembang.
Isu pajak eskplorasi ini hanya menambah faktor kesulitan dan ketidakpastian dunia migas di Indonesia. Padahal, masih ada faktor-faktor ketidakpastian lainnya yang perlu juga segera diatasi, misalnya perpanjangan blok-blok migas yang segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. Kemungkinan produksi blok Mahakam terus menurun jelang kontrak berakhir, karena perusahaan enggan melakukan investasi, karena return investasi baru akan terjadi setelah kontrak berakhir 2017 nanti. Operator blok Mahakam telah meminta perpanjangan. Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan. Pemerintah telah mengindikasikan akan melibatkan operator lama dan kemungkinan mengakomodasi kepentingan pemain baru (Pertamina) di blok tersebut. Tentu, bila opsi joint-operating semacam ini diambil pemerintah, tentu akan berdampak positif bagi kelanjutan produksi blok Mahakam. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar