Minggu, 15 Desember 2013

Tantangan Eksplorasi Lepas Pantai di Indonesia vs Pajak Eksplorasi

Isu pajak eskplorasi ini hanya menambah faktor kesulitan dan ketidakpastian dunia migas di Indonesia. Padahal, masih ada faktor-faktor ketidakpastian lainnya yang perlu juga segera diatasi, misalnya perpanjangan blok-blok migas yang segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. Kemungkinan produksi blok Mahakam terus menurun jelang kontrak berakhir, karena perusahaan enggan melakukan investasi, karena return investasi baru akan terjadi setelah kontrak berakhir 2017 nanti. Publik berharap pemerintah akan segera mengambil keputusan, mengingat investasi migas bersifat jangka panjang, tidak bisa direncanakan dan direalisasikan seperti membalikkan tangan.

***
 
Tantangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang melakukan eksplorasi di lepas pantai di Indonesia kian sulit. Salah satu masalah utama yang belakangan mencuat kembali adalah soal pajak bumi dan bangunan yang dikenakan pada kegiatan eksplorasi di lepas pantai, termasuk investasi pencarian minyak di laut dalam --di atas 500 meter. Pemerintah keukeuh menerapkan peraturan tersebut, sementara para pelaku industri migas mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan tersebut.

Pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Wilayah Kerja (WK) atau blok migas diimplementasikan saat industri migas nasional dalam situasi yang memprihatinkan. Produksi minyak dalam negeri terus menurun dalam dua dekade terakhir, mulai dari produksi puncak 1,6 juta tahun 1995 menjadi tinggal 830.000 barel per hari saat ini. Tingkat penurunan setiap tahun mencapai hingga 12 persen. SKK Migas, regulator dan pengawas industri migas, terus berusaha untuk menahan laju penurunan produksi minyak hingga 4 persen, namun hasilnya belum menggembirakan. 

Produksi gas bumi saat ini cenderung stagnan dan diperkirakan akan menurun dalam dekade mendatang bila saat ini tidak gencar melakukan eksplorasi atau tidak ada tambahan cadangan gas bumi. Pada satu sisi permintaan dan konsumsi dalam negeri terus meningkat, baik konsumsi bahan bakar minyak (BBM) maupun gas bumi. Akibatnya jurang antara produksi migas dan konsumsi terus melebar. Dampaknya, sangat terasa, terutama meningkatnya defisit neraca perdagangan (current deficit) Indonesia akibat meningkatnya impor minyak. Kondisi ini membuat rupiah tertekan, sehingga nilai rupiah kini melemah ke level Rp12,000 terhada dolar AS, dari sebelumnya Rp9,500-10,000 per dolar AS. 

Pada satu sisi, beberapa pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Chatib Basri dan pejabat-pejabat lainnya, mengakui impor minyak yang tinggi telah menekan rupiah dan membuat neraca perdagangan mengalami defisit. Untuk mengurangi defisit perdagangan dan mengurangi tekanan pada rupiah, maka tidak ada jalan lain mengurangi impor minyak, dan pada sisi yang lain meningkatkan produksi dalam negeri serta mendiversifikasi sumber energi. Meningkatkan produksi, rupanya masih menjadi wacana atau konsep di atas kertas, karena hal itu sulit dilakukan. Untuk meningkatkan produksi, cadangan minyak dan gas harus ditemukan. 

Karena itu, solusi paling mendasar dan mendesak saat ini adalah mendorong eksplorasi minyak dan gas bumi. Tanpa eksplorasi, mustahil ditemukan cadangan migas baru. Tanpa ada penemuan cadangan baru, maka Indonesia terpaksa hanya memproduksi cadangan yang ada saat ini, yang notabene merupakan penemuan para pekerja migas beberapa dekade lalu. Untuk menjamin keberlanjutan produksi dan ketahanan energi masa depan, bagi generasi berikutnya, maka Indonesia—pemerintah, swasta dan seluruh pemangku kepentingan harus bersatu hati, satu pikiran dan kemudian menyatukan langkah untuk mendorong kemajuan industri migas, terutama mendorong kegiatan ekpslorasi.

Maka tatkala pemerintah keukeuh mengejakan pajak eksplorasi (PBB), menjadi kontradiksi dengan niat pemerintah untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Lain di mulut, lain di tindakan. Ada ketidaksinkronan antara keinginan dan kebijakan yang dikeluarkan. Contoh nyata, ya itu tadi, pajak eksplorasi. Padahal, bagi perusahaan migas, eksplorasi itu merupakan kegiatan investasi. Sebuah perjudian atau gamble karena belum tentu ditemukan cadangan minyak. Dan itu terbukti, tahun 2011, perusahaan eksplorasi migas mencatat kerugian sekitar US$800 juta karena tidak menemukan cadangan migas (dryhole). Tahun 2012 lalu juga demikian. Tahun 2013, ini belasan perusahaan eksplorasi migas menemukan dryhole dan terpaksa mereka angkat kaki dan menyerahkan kembali blok migas atau WK migas tersebut ke pemerintah.

Perusahaan-perusahaan migas (Kontrak Kerjasama atau Production Sharing Contractor/PSC) telah melaporkan penemuan dryhole pada kegiatan eksplorasi mereka. Diantaranya, Statoil Karama, Talisman Sageri, Marathon Pasang Kayu, CNOOC Palung Aru, ExxonMobil dan ConocoPhillips. Belakangan, Niko Resources, perusahaan migas asal Kanada juga gagal menemukan cadangan migas di beberapa kegiatan pengeboran di lepas pantai dan laut dalam. 

Akibatnya, perusahaan tersebut menghentikan sementara program eksplorasi multi-years di beberapa blok. Padahal, perusahaan Kanada tersebut merupakan perusahaan migas yang paling agresif dalam lima tahun terakhir dan tercatat sebagai pemegang WK lautdalam terbanyak saat ini. Menurut website perusahaan , Niko Resources memiliki konsesi atau hak kepesertaan di 22 blok migas, dengan kepemilikan antara 20-100 persen.

Karena itu, dapat dipahami bila Indonesia Petroleum Association (IPA) mendesak pemerintah untuk mencabut penganaan pajak eksplorasi PBB) pada kegiatan eksplorasi migas. Direktur Eksekutif IPA Sammy Hamzah mengatakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menghambat eksplorasi migas. Alasannya, eksplorasi yang dilakukan belum tentu mendapatkan hasil, jadi dianggap tidak masuk akal jika sudah harus membayar pajak terlebih dahulu.

Kita berharap pemerintah mendengar permintaan pelaku industri migas. Dan, tentu permintaan tersebut juga untuk kepentingan nasional Indonesia, agar kegiatan eksplorasi migas kembali bangkit. Semua pihak – pelaku industri migas, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya, tentu berkepentingan industri migas nasional berkembang.

Isu pajak eskplorasi ini hanya menambah faktor kesulitan dan ketidakpastian dunia migas di Indonesia. Padahal, masih ada faktor-faktor ketidakpastian lainnya yang perlu juga segera diatasi, misalnya perpanjangan blok-blok migas yang segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. Kemungkinan produksi blok Mahakam terus menurun jelang kontrak berakhir, karena perusahaan enggan melakukan investasi, karena return investasi baru akan terjadi setelah kontrak berakhir 2017 nanti. Operator blok Mahakam telah meminta perpanjangan. Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan. Pemerintah telah mengindikasikan akan melibatkan operator lama dan kemungkinan mengakomodasi kepentingan pemain baru (Pertamina) di blok tersebut. Tentu, bila opsi joint-operating semacam ini diambil pemerintah, tentu akan berdampak positif bagi kelanjutan produksi blok Mahakam.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar