Kamis, 11 September 2014

RUU Pilkada Memundurkan Demokrasi Indonesia

Ahok
Enam belas tahun pasca tumbangnya Orde Baru di bawah kediktatoran Suharto, Indonesia menikmati demokrasi layaknya negara-negara maju lainnya di dunia ini. Pemilu dilaksanakan di seluruh pelosok Indonesia dengan jujur dan adil dan transparan. Pemilu terakhir melahirkan presiden terpilih Jokowi yang memang dicintai oleh rakyat. Namun baru-baru ini terjadi tamparan yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi bangsa ini yakni Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

RUU Pilkada tersebut rencananya akan mengembalikan pilkada ke DPRD dinilai oleh banyak pihak sebagai sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia. "Saya melihat hal ini merupakan kemunduran demokrasi," ujar pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung Arizka Warganegara.

Dia menyampaikan bahwa sejak awal cita-cita reformasi adalah meletakkan desentralisasi politik secara nyata di kabupaten dan kota. Namun, nyatanya dengan diberlakukannya RUU ini maka komitmen meneruskan tradisi dan cita-cita reformasi itu lenyap. Dia juga menyebutkan bahwa salah satu alternatif menekan persoalan muncul dalam pilkada langsung antara lain dengan membarengkan pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada.

Selain itu, pengamat politik dari FISIP Unila lainnya, Dr Syarief Makhya mengatakan bahwa penentuan keputusan politik atas cara pemilihan kepala daerah harus bisa menjawab persoalan pokok yang telah menjadi masalah dalam pilkada itu. "Hal pokok apakah kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD, yaitu harus terjamin prinsip jujur dan adil," kata Syarief.

Lebih lanjut lagi, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apeksi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apoksi) juga telah menyatakan bahwa mereka menolak pilkada yang diwakili oleh DPRD. Penolakan tersebut akan langsung diberitahukan pada Presiden SBY melalui surat tertulis.

"Menolak secara tegas pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Rekomendasi ini akan disampaikan pada yang terhormat Presiden RI, Wakil Presiden RI, Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, Menkopolhukam, Mendagri, Menkum dan HAM, bupati dan walikota," ujar Ketua Apeksi Vicky Lumentut.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra juga mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak langsung bisa batal bila SBY turun tangan. "Kalau tidak setuju maka tidak bisa disahkan," tegasnya.

Walikota Bandung Ridwan Kamil berujar bahwa pihak yang paling menderita jika pilkada tak langsung diterapkan adalah para kepala daerah. Walaupun saat pilkada didukung PKS dan Gerindra, ia mengaku tidak takut dengan sanksi yang akan diberikan.

"Objek penderita itu bupati dan walikota, selain itu rakyat. Bukan urusan sanksi, itu urusan kesekian. Ini mewakili suara rakyat," pungkasnya.

Yang paling heboh tentunya adalah pengunduran diri Ahok dari Gerindra sebagai bukti pernyataan sikap ketidaksetujuannya terhadap sikap partai yang mengkampanyekan penghapusan pilkada langsung tersebut.

Sepertinya penolakan masyarakat dari berbagai kalangan terhadap RUU Pilkada ini sangat luas. Semoga saja aspirasi tersebut memang didengarkan dan RUU tersebut tidak jadi disahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar