Selasa, 07 Oktober 2014

Sawit Bukanlah Pilihan Biofuel Tepat Bagi Indonesia

Biofuel
Seringkali dalam pembahasan soal pasokan energi Indonesia ke depan, biofuel yang dibuat dari kelapa sawit disebut sebagai salah satu calon sumber bahan bakar minyak. Biofuel dari kelapa sawit juga disebut sebagai sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan hidup, serta ekonomis.  Namun, pikiran ini sesungguhnya sangat keliru dari beberapa segi.

Salah satu tujuan dari kebijakan pemerintah yang mendukung biofuels adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran minyak konvensional. Karena carbon di dalam buah sawit adalah hasil penangkapan karbon dioksida dari atmosfer bumi, seharusnya dengan membakar kembali, dampak net adalah zero karbon teremisi, bukan? Sayangnya, ini tidak benar, karena hitungan ini tidak meliputi dampak emisi gas rumah kaca dari pembukaan lahan untuk perkubunan sawit, yang disebut oleh ahli iklim sebagai land use and land-cover change (LULCC). Banyak perkubunan sawit di Indonesia didirikan atas lahan gambut, yang digundulkan, dikeringkan, dan ditanam bibit kelapa sawit. Masalahnya, lahan gambut ini merupakan simpanan karbon dalam kuantitas luar biasa besar, terlindungi dan terkunci di tanah gambut karena terendam air. Saat dikeringkan dengan digali kanal, karbon yang tersimpan melepas dengan perlahan tapi pasti – atau, seringkali – terlepas dengan amat cepat saat lahan gambut terbakar karena kering.

Kebakaran ini bisa terjadi secara tak sengaja, dari petir atau jatuhnya bara rokok, atau sengaja oleh perusahan yang ingin lahan gambut -- yang secara alami sangat bersifat asam -- menjadi lebih subur  dengan adanya alkali dari abu kebakaran.

Pelepasan karbon ini sudah memposisikan Indonesia sebagai pengemisi gas rumah kaca tingat ketiga di dunia.

Selain masalah emisi karbon, ada juga dampak lingkungan hidup dengan hilangnya hutan, yang merupakan habitat buat jutaan spesies satwa termasuk harimau Sumatera dan gajah, yang sudah terancam punah. Adapun masalah lain: saat makanan (minyak sawit) diolah menjadik sumber bbm, ada dampak buruk terhadap harga pasar untuk makanan pokok. Tentu saja ini menyulitkan kaum miskin.

Jadi, solusi untuk masalah langkahnya bbm di Indonesia bukan biofuel. Mending kita manfaatkan satu sumber energi yang selama ini kurang dimanfaatkan untuk transportasi, yaitu gas bumi. Program yang direncanakan Jokowi  untuk membantu konversi armada transportasi tanah air dari minyak (premium) ke gas (LPG) sangat tepat. Kita menantikan pelaksaan, dan tentu juga upaya untuk memastikan tingkat produksi gas dalam negeri tetap dijaga dan jika bisa, dinaikkan. Untuk ini kita perlu kerjasama dengan ahli perusahaan migas supaya gas fields di Indonesia dikelola dengan optimal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar