Rabu, 08 Januari 2014

Industri Migas Indonesia dan Transfer Teknologi

Era mudah mendapatkan minyak dan gas bumi (migas) sudah lewat. Dulu sebagian besar lapangan minyak berada di daratan (onshore), tapi kini sebagian besar blok migas atau wilayah kerja (WK) Migas berada di lepas pantai. Dan, sebagian besar berada di laut dalam (deepwater). Sehingga tidak salah bila industri migas identik high technology dan high capital. Lihat saja pengembangan Blok Masela di Arafura, yang menelan biaya sekitar US$5,5 miliar untuk mengembangkan tahap pertama. Demikian juga pengembangan lanjutan train 3 BP Tangguh di Papua yang menelan puluhan hingga ratusan triliun dalam 5-10 tahun mendatang, proyek laut dalam (IDD) di Selat Makassar.
Selain biaya investasi yang mahal, peralatan pendukung pun bersifat high-tech dan menelan biaya bear. Sebagai contoh jenis kapal pengeboran (drillship) khusus untuk laut dalam. Belum ada perusahaan Indonesia yang memiliki kapal high-tech sejenis itu. Kapal drillship laut dalam didatangkan dari luar negeri. Tidak heran beberapa jenis kapal yang digunakan untuk proyek deepwater masih harus diimpor dari dalam negeri.
Pengolahan gas bumi (LNG) pun kini tidak lagi diproses di daratan (onshore) tapi juga langsung dioleh oleh kapal yang melayang di tengah laut (floating LNG/FLNG) atau Floating Production Storage Offloading (FPSO) atau sejenisnya. Minyak dan gas bumi diangkat dan langsung diproses di FLNG atau FPSO dan kemudian dieksplor melalui kapal ke pembeli. 

Khusus untuk proyek FLNG, Australia dan Indonesia kini sedang berlomba untuk memiliki FLNG pertama di dunia. Tapi rupanya FLNG pertama akan dimiliki Australia tahun 2017, sementara Indoneosia tampaknya gagal mencapai ambisinya memiliki FLNG pertama, yakni melalui proyek lapangan Abadi di Blok Masela. Pengembangan Blok Masela masih molor dan kemungkinan baru onstream tahun 2018 atau 2019. Itu pun masih menunggu keputusan atau sinyal pemerintah terkait permintaan Inpex, sebagai operator, untuk memperpanjang kontrak Blok Masela setelah 2028.
Seperti diakui oleh ketua Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz, Indonesia tertinggal 10 tahun terkait teknologi di industri migas. Karena itu, Lukman berharap generasi muda pekerja migas Indonesia mengambil peluang untuk meningkatkan keahlian mereka.
Jadi sedikit mengherankan bila pemerintah membuat peraturan yang justru berdampak negatif terhadap kemajuan industri migas di Indonesia. Misalnya, ketentuan umur tenaga expat maksimal 55 tahun dan meminta tenaga kerja expat untuk menguasai bahasa Indonesia. Hal-hal teknis seperti ini seharusnya tidak perlu diatur oleh UU tertentu karena toh para pekerja asing akan belajar atau terdorong untuk belajar bahasa Indonesia dan budaya lokal. Proses interaksi bahasa dan budaya merupakan hal yang lumrah bagi pekerja bila bekerja di sebuah negera.Demikian juga pekerja migas Indonesia yang bekerja diluar negeri. Menguasai bahasa Inggris menjadi keharusan.
Era mendapatkan migas secara mudah memang telah lewat. Sekarang Indonesia membutuhkan teknologi yang lebih maju dan tenaga manusia yang berkompeten untuk menemukan dan mengembangkan cadangan migas yang baru, yang kini semakin sulit ditemukan. Dalam kasusu tertentu, tenaga ahli, yang kebetulan tenaga asing, cukup banyak yang berumur di atas 55 tahun. Seharusnya pemerintah membuat peraturan yang lebih flexible. Tidak kaku.
Disamping itu, migas adalah sebuah industri yang membutuhkan konsisten kebijakan karena investasi migas bersifat jangka panjang. Kebijakan tidak bisa diubah-ubah di tengah jalan. Investasi yang dikeluarkan hari ini, mungkin baru akan memberikan return 5-15 tahun mendatang. Karena itu, perubahan kebijakan yang drastis dan tiba-tiba dapat berdampak buruk pada kemajuan industri .
Seiring dengan semakin berkembangnya industri migas di Tanah Air, maka pendidikan yang terkait industri minyak dan gas bumi juga perlu dikembangkan dan tersedia semakin luas, tidak hanya terpusat di Jawa seperti ITB atau ITS (Surabaya). Pemerintah perlu membangun sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang menawarkan program teknologi perminyakan.
Menurut Yvonne Chen dari American Chamber of Commerce, saat ini lulusan beberapa universitas di Idnonesia tidak cukup untuk memenuhi permintaan industri migas, khususunya insinyur perminyakan (petroleum engineers). Hanya 30.000 lulusan dari total 1,4 juta lulusan perguruan tinggi, atau 16 persen, adalah insinyur. Padahal Indonesia membutuhkan 50.000 insinyur setiap tahun. Jadi saat ini masih ada gap sebesar 40 persen antara kebutuhan tenaga dan ketersedian tenaga kerja. Sebelum 2025, gap tersebut akan meningkat menjadi 70 persen.

Dalam konteks ini, kehadiran perusahaan migas dunia yang mengembangkan proyek-proyek migas raksasa dan rumit akan menguntungkan Indonesia. Dari sisi trasfer teknologi, para pekerja migas nasional dapat melakukan transfer teknologi. Peluang transfer teknologi dapat dioptimalkan Indonesia, apalagi sekitar 93% tenaga kerja di perusahaan-perusahaan migas asing di Indonesia adalah pekerja nasional, seperti di BP, CPI, ExxonMobil, ConocoPhillips, Inpex serta Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesia. Proses transfer teknologi dapat juga menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kontrak Blok Mahakam pasca 2017.

Berbeda dengan industri lain, industri migas bersifat universal dan terbuka. Siapa yang berkompeten dapat bekerja dimana saja di dunia. Bahkan dewasa ini, cukup banyak pekerja migas Indonesia yang bekerja di Timur Tengah, Afrika maupun di Amerika Selatan. Karena itu, tugas pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang sehat agar industri migas terus berkembang, tidak membuat peraturan yang justru menghambat kemajuan industri migas.  (*)

1 komentar:

  1. Industri migas kita masih tertinggal dgn negara-negara lain. Conth, eksplorasi laut dalam blm berkembang di Indonesia. Seharusnya pemerintah segera beri insentif agar investor mau tanam investasi mereka di industri migas Indonesia.

    BalasHapus