Kamis, 03 Juli 2014

Newmont Nusa Tenggara vs Indonesia

pertambangan Newmont
PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) sudah berhenti beroperasi sejak 5 Juni 2014 lalu. Sebabnya adalah ketentuan ekspor yang baru, penerapan bea keluar, dan larangan ekspor sehingga berdampak pada kelayakan ekonomi operasi tambang Batu Hijau dan tidak sesuai dengan kontrak karya. Akibatnya ribuan buruh yang sebelumnya bekerja di NNT juga terpaksa dirumahkan dan belum ada kejelasan hingga saat ini.

Selain itu, berhenti beroperasinya NNT juga berdampak pada penumpukan konsentrat! NNT merugi besar karena ini. Stok konsentrat yang dimaksud sebagian besar adalah emas dan tembaga. "Stok jumlah konsentratnya saat ini sudah 93.800 ton, sedangkan kapasitas gudang hanya 90.000 ton," ujar Manager Procesing and Powerplant PT NNT Ilyas Yamin.

Sebelum peraturan pelarangan ekspor tambang mentah diterbitkan, NNT rutin mengekspor hasil tambangnya ke beberapa negara seperti Jepang dan Korea. Menurut NNT, estimasi produksi tahun ini mencapai 200.000-300.000 ton, naik dibandingkan dengan pencapaian tahun 2013 lalu yang hanya kurang lebih 250.000 ton.

"Biasanya kita jual dan ekspor salah satunya ke Korea Selatan dan Jepang. Setiap satu ton konsentrat mengandung tembaga 24,7%, emas 6,5 gram/ton, dan perak 43 gram/ton," jelasnya.

Yang bisa dilakukan pihak NNT saat ini hanyalah mengirimkan konsentrat untuk diolah ke salah satu smelter di Jawa Timur yaitu PT Smelting Gresik. Kontrak pembelian PT Smelting Gresik kepada NNT sebesar 124.000 ton pada tahun 2014 ini.

"Dengan adanya pasokan konsentrat di gudang kita bisa penuhi permintaan Smelting Gresik. Kita harapkan kita bisa dapat izin ekspor agar kita bisa kembali beroperasi. Sekarang karyawan yang bekerja hanya 20% karena dirumahkan situasi cukup sepi, kita hanya lakukan pemeliharaan sehingga bisnis-bisnis di sekitar tambang juga cukup sepi. Kerugian juga cukup besar," ucap Ilyas.

Buntut lain dari tutupnya NNT adalah bahwa NNT dan Nusa Tenggara Partnership (NTP), pemegang saham mayoritas NNT, akan membawa kasus ini ke arbitrase internasional. Langkah ini diambil karena NNT menilai bahwa aturan yang diterapkan pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.

“Meski kami telah melakukan berbagai upaya terbaik selama 6 bulan terakhir untuk menyelesaikan isu ekspor melalui komitmen atas dasar niat baik untuk mendukung kebijakan Pemerintah, PTNNT belum dapat meyakinkan Pemerintah bahwa KK berfungsi sebagai rujukan dalam menyelesaikan perbedaan yang ada,” keluh Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto.


Memang cukup disayangkan ketidakpastian hukum yang dialami oleh NTT. Namun apakah benar peraturan baru tersebut akan lebih menguntungkan Indonesia ke depannya? Apabila pemerintah Indonesia kalah di arbitrase internasional tersebut, maka sepertinya ganti rugi yang harus dibayar pemerintah tidak akan murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar